Kolom : CERMIN oleh Hasyim Arsal Alhabsi
Nasihat Baik

Default Images (Dok. Pri / HARIAN NASIONAL)
Pada masa pemerintahan tiga khalifah sebelumnya, Imam Ali bin Abi Thalib lebih banyak menyibukkan diri di rumah dan masjid dengan mengkaji dan mengajarkan pengetahuan kepada orang-orang yang datang kepadanya.
Karena kala itu tidak memiliki posisi, beliau senantiasa meluangkan waktu berada di antara sahabat, berbagi ilmu dan menjawab berbagai masalah yang diajukan kepadanya. Meski pada siang hari disibukkan dengan pekerjaan fisik di perkebunan, demi pengetahuan beliau seakan tidak pernah dihinggapi rasa capek dan lelah.
Suatu malam, setelah melaksanakan shalat Isya, beliau duduk bersama para sahabat. Para sahabat memang sering berkumpul dengannya, mendekat dan bergerombol, membuat lingkaran kecil di sekitar beliau. Sebagaimana malam-malam sebelumnya, mereka pun kini berharap mendapatkan siraman rohani dan pengetahuan yang segar dan selalu penuh hikmah dari beliau. Ali bin Abi Thalib bagaikan mata air yang tak pernah berhenti mengalirkan airnya, air pengetahuan. Sungguh benar Sabda Rasulullah SAW, ‘'Aku adalah kota ilmu, Ali adalah pintunya.''
Namun, kali ini Imam Ali diam. Sahabat pun terdiam menanti beliau memulai. Tak lama berselang, dalam keheningan seorang lelaki -kemungkinan dari Suku Badui- memasuki masjid, mendekat, lalu berkata:
‘'Wahai kalian yang berkumpul, tidakkah kalian sadar berada di masjid yang mulia ini. Perbanyaklah shalat dan sujud di tempat suci ini. Jauhi perbuatan sia-sia yang tidak akan memberimu bekal bagi kehidupan yang abadi kelak. Lakukanlah sebaik-baiknya perbuatan. Rendahkan dirimu di hadapan Sang Maha Tinggi, bersujudlah seakan wajahmu menyatu dengan tanah agar engkau sadar akan menyatu kembali dengan tanah yang menjadi asalmu. Perbaiki sikapmu. Berbuatlah kebaikan karena itulah bekalmu sejati di hari perhitungan. Jangan sombong, Allah tidak menyukai orang sombong karena amalmu tak akan menolongmu jika sombong.''
Lelaki Badui itu terus melontarkan nasihat-nasihat dengan mengebu-gebu. Para sahabat yang berada di tempat itu memandang ke arah Imam Ali dengan wajah agak sedikit terganggu atas kehadiran lelaki itu. Mereka berharap Imam Ali mengatakan sesuatu.Tapi, wajah Imam Ali tertunduk khusyu mendengarkan lelaki itu memberi nasihat. Sahabat yang duduk paling dekat dari beliau mulai merasa kurang sabar. Tanpa mengangkat wajahnya, seakan seperti sedang mendengar SabdaRasulullah. Dengan penuh khikmat, Imam Ali memegang tangan sahabat tersebut dan mengelusnya, seakan berkata, ‘'Ssssashhhhh, tenang, tenang, dengarkan... Jangan disela.'' Sahabat pun mengerti maksud Imam Ali. Ia bersabar meski kegelisahannya terasa sesak menyebar dalam ruang itu.
Setelah menyampaikan nasihatnya, lelaki itu pun meninggalkan mereka. Wajahnya cerah dan bahagia. Ia kemudian melaksanakan shalat, setelah itu berlalu dari masjid. Sahabat dengan wajah penuh tanda tanya memandang Imam Ali yang kali ini telah mengangkat wajahnya. Wajahnya yang gagah terlihat mengulum senyum.
Sahabatnya berkata, ‘'Wahai Imam, engkau membiarkan orang tersebut menasihatimu, sedang engkau lebih tahu? Semestinyalah engkau yang menasihatinya.''
Imam Ali menjawabnya, ‘'Dengarkan yang dia katakan, jangan lihat siapa yang mengatakan. Jika tidak ada yang salah, dengarlah nasihat itu. Sungguh mendengar nasihat adalah bagian dari agama ini. Bangunan (agama) ini akan runtuh jika kita tidak lagi mampu mendengar nasihat, meski nasihat itu telah engkau ketahui.''
Karena kala itu tidak memiliki posisi, beliau senantiasa meluangkan waktu berada di antara sahabat, berbagi ilmu dan menjawab berbagai masalah yang diajukan kepadanya. Meski pada siang hari disibukkan dengan pekerjaan fisik di perkebunan, demi pengetahuan beliau seakan tidak pernah dihinggapi rasa capek dan lelah.
Suatu malam, setelah melaksanakan shalat Isya, beliau duduk bersama para sahabat. Para sahabat memang sering berkumpul dengannya, mendekat dan bergerombol, membuat lingkaran kecil di sekitar beliau. Sebagaimana malam-malam sebelumnya, mereka pun kini berharap mendapatkan siraman rohani dan pengetahuan yang segar dan selalu penuh hikmah dari beliau. Ali bin Abi Thalib bagaikan mata air yang tak pernah berhenti mengalirkan airnya, air pengetahuan. Sungguh benar Sabda Rasulullah SAW, ‘'Aku adalah kota ilmu, Ali adalah pintunya.''
Namun, kali ini Imam Ali diam. Sahabat pun terdiam menanti beliau memulai. Tak lama berselang, dalam keheningan seorang lelaki -kemungkinan dari Suku Badui- memasuki masjid, mendekat, lalu berkata:
‘'Wahai kalian yang berkumpul, tidakkah kalian sadar berada di masjid yang mulia ini. Perbanyaklah shalat dan sujud di tempat suci ini. Jauhi perbuatan sia-sia yang tidak akan memberimu bekal bagi kehidupan yang abadi kelak. Lakukanlah sebaik-baiknya perbuatan. Rendahkan dirimu di hadapan Sang Maha Tinggi, bersujudlah seakan wajahmu menyatu dengan tanah agar engkau sadar akan menyatu kembali dengan tanah yang menjadi asalmu. Perbaiki sikapmu. Berbuatlah kebaikan karena itulah bekalmu sejati di hari perhitungan. Jangan sombong, Allah tidak menyukai orang sombong karena amalmu tak akan menolongmu jika sombong.''
Lelaki Badui itu terus melontarkan nasihat-nasihat dengan mengebu-gebu. Para sahabat yang berada di tempat itu memandang ke arah Imam Ali dengan wajah agak sedikit terganggu atas kehadiran lelaki itu. Mereka berharap Imam Ali mengatakan sesuatu.Tapi, wajah Imam Ali tertunduk khusyu mendengarkan lelaki itu memberi nasihat. Sahabat yang duduk paling dekat dari beliau mulai merasa kurang sabar. Tanpa mengangkat wajahnya, seakan seperti sedang mendengar SabdaRasulullah. Dengan penuh khikmat, Imam Ali memegang tangan sahabat tersebut dan mengelusnya, seakan berkata, ‘'Ssssashhhhh, tenang, tenang, dengarkan... Jangan disela.'' Sahabat pun mengerti maksud Imam Ali. Ia bersabar meski kegelisahannya terasa sesak menyebar dalam ruang itu.
Setelah menyampaikan nasihatnya, lelaki itu pun meninggalkan mereka. Wajahnya cerah dan bahagia. Ia kemudian melaksanakan shalat, setelah itu berlalu dari masjid. Sahabat dengan wajah penuh tanda tanya memandang Imam Ali yang kali ini telah mengangkat wajahnya. Wajahnya yang gagah terlihat mengulum senyum.
Sahabatnya berkata, ‘'Wahai Imam, engkau membiarkan orang tersebut menasihatimu, sedang engkau lebih tahu? Semestinyalah engkau yang menasihatinya.''
Imam Ali menjawabnya, ‘'Dengarkan yang dia katakan, jangan lihat siapa yang mengatakan. Jika tidak ada yang salah, dengarlah nasihat itu. Sungguh mendengar nasihat adalah bagian dari agama ini. Bangunan (agama) ini akan runtuh jika kita tidak lagi mampu mendengar nasihat, meski nasihat itu telah engkau ketahui.''