• Foto
  • Video
  • Indeks
Follow Us on Facebook Follow Us on Twitter Get Latest News From Us

Harian Nasional

Minggu, 22 April 2018 | 08:21 WIB

  • Terkini
  • Terpopuler
  • Barcelona Juara Piala Raja
  • Klasemen Liga Spanyol, Barcelona Tinggalkan Atletico Madrid
  • Asian Games 2018 Lonjakkan Inflasi
  • Bunga Acuan Diprediksi Naik Desember
  • Ekonomi Indonesia Diprediksi Lebih Rendah
  • Thiago Silva akan Tinggalkan PSG
  • Jelajah Kisah Konservasi & Asa Keberlanjutan
  • Komdis Pastikan tanpa Tekanan
  • PSSI Dibayangi Sanksi FIFA
  • Cino Andalkan Pukulan Kidal
  • Waspadai Praktik Curang Sistem Rujukan
  • Koo, Aktor Terbaik Hong Kong
  • Enam Anggota Polda Papua Dipecat
  • Raja Salman Kecam Iran dan Amerika Serikat
  • Piala Indonesia Dinilai Merugikan Persija
  • Exco: Indra (Masih) Terkuat
  • Pengemudi Go-Jek Dipotong Rp 16.800
  • Komdis PSSI Kian Bernyali
  • Hanya 3 PTAN Terakreditasi A di Indonesia
  • Polisi Tangkap Komunitas Tukar Pasangan


  • Home /
  • Opini & Kolom

Brexit: Texts, Lies and Videotapes

Senin, 27 Juni 2016 09:09 WIB
Brexit: Texts, Lies and Videotapes
Seorang Lelaki membagikan stiker, selebaran, dan poster bertuliskan "Vote Remain" di Oxford Circus, London, Selasa (21/6). (AFP | LEON NEAL )

Oleh: Muhammad Takdir

SILAKAN DIBAGI :

  • Tweet
TIGA belas tahun silam, PM Inggris Tony Blair gerah meladeni pers yang terus menyuarakan yang harus dilakukan London terhadap Uni Eropa (UE). Menurutnya, media kala itu berpikiran manic rubbish tentang Eropa. "We can't do a referendum with the press strongly against us,'' ujar Blair kesal.

 

Setelah referendum leave and remain UE digelar pada 23 Juni 2016, kekesalan Blair terbukti benar. Britain exit, British hengkang!

 

Para pendukung Europhiles hanya bisa mengeluarkan sumpah serapah pada tabloid-tabloid itu. Menurut mereka, pers atau media telah meracuni pikiran dan fantasi warga Inggris tentang UE. Media menyebarkan text kebohongan, contempt, dan propaganda anti-Eropa.

 

Pemilik industri media seperti Robert Murdoch -yang menguasai koran beroplah besar Sun, The Times, Sunday Times, dan Daily Mail- dianggap sejak lama bersikap sinis dan bias dalam memberitakan seluruh urusan terkait UE. Jika membaca lebih jauh kedongkolan Blair, Murdoch dinilai telah mengagitasi Inggris untuk lari dari UE.

 

Bagaimana mungkin orang yang tidak tinggal dan tak membayar pajak di Inggris bisa sedemikian powerful memengaruhi Brexit?.

 

Bisa saja. Buktinya, sehari setelah Brexit diputuskan menang dalam referendum, Murdoch merayakannya bersama Donald Trump dalam suatu jamuan dinner di Resort Golf Turnberry milik Trump yang baru diresmikan di Arbeeden, Skotlandia. Murdoch, juga taipan media raksasa televisi Fox di Amerika Serikat, memang dikenal peramu text, lies and videotapes penuh ilusi.

 

Dalam dokumen berjudul Reporting the EU: News, Media and the European Institution yang dirilis Reuters Institute for the Study of Journalism pada 2014, Paul Taylor menyebutkan, kebanyakan media yang ada tidak meliput dinamika UE dengan koresponden mereka sendiri. Mereka cenderung melakukan outsourcing korespondensi kepada para freelance atau outlet media lainnya. Tujuan utama media Eurosceptic itu adalah menggerogoti kesuksesan Eropa dengan sajian berita dan informasi yang sinis, funny, dan bias dengan m0tif demolish.

 

Adagium lama bad news is good news tidak hanya menjadi pilar industri media secara umum. Prinsip ideologi pemberitaan seperti itu bahkan telah bertransformasi menjadi bad news is good for business. Publik dicecoki dengan informasi yang bersifat mislead karena industri media menyukai kontroversi.

 

Setiap produk mutasi pemberitaan yang bersifat kontroversi selalu menyulut pro-kontra yang bagus buat bisnis media. Kontroversi akan selalu menjadi santapan lahap dan lahan basah bagi media yang menggantungkan diri pada ilusi dan kebohongan. Parahnya lagi, publik secara umum tidak pernah ingin capek mengonsumsi berita dan informasi di hadapan mereka dengan cara check and re-check. Hasilnya, halusinasi!

 

Seperti Brexit, ini halusinasi paling sial tentang UE. Sebagaimana dinyatakan Zack Beauchamp, "Brexit was fuelled by irrational xenophobia, not real economic grievances" (Vox, 25/6).

 

Salah satu halusinasi itu kala mereka ketakutan kepada kaum pendatang (imigran) yang menjadi alasan utama cabut dari UE. Sebenarnya yang dikhawatirkan bukan karena para imigran asing itu akan merugikan Inggris, tetapi takut kaum pendatang akan mengubah karakter orang Inggris (Briton) sehingga menjadi asing di negeri sendiri. Itulah halusinasi xenophobia!


Reportase : Muhammad Takdir
Editor : Admin

KATEGORI

  • Polhukam
  • Global
  • Kesra
  • Olahraga
  • Ekonomi
  • Travel & Lifestyle
  • Sosok
  • Otomotif
  • Sepak Bola
  • Sainstek/Kesehatan
  • Opini & Kolom
  • Liputan Khusus
  • Foto
  • Indeks

Dapatkan newsletter update berita setiap hari dengan menyertakan E-Mail Anda.



PT. BERITA NASIONAL
Jl. Teuku Cik Ditiro 77 Menteng
Jakarta Pusat 10310
Telp : 021-315 2699
E-Mail Redaksi :
redaksi@harian-nasional.com
Info Pemasangan Iklan :
iklan@harian-nasional.com

  • Polhukam
  • Global
  • Kesra
  • Olahraga
  • Ekonomi
  • Travel & Lifestyle
  • Sosok
  • Otomotif
  • Sepak Bola
  • Sainstek/Kesehatan
  • Opini & Kolom
  • Liputan Khusus
  • Foto
  • Indeks
  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Disclaimer
  • Karir
  • Pedoman Media Siber
  • Lihat Versi Mobile

Copyright 2018 © Harian Nasional. Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.