Persiapan Atlet Asian Games Menanti Arah

Asian Games 2018. (IST)
Kemenpora masih bungkam terkait skema baru pelatnas Asian Games tanpa Prima.
JAKARTA (HN) - Persiapan atlet jelang Asian Games 2018 Jakarta-Palembang semakin mengkhawatirkan. Sepuluh bulan tersisa, pemerintah justru berniat menghapus Program Indonesia Emas (Prima) demi memangkas birokrasi olahraga.
Kebijakan ini berisiko karena waktu kurang dari setahun. Apalagi, Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) juga belum mau buka suara terkait skema pengganti pemusatan latihan nasional (pelatnas) pemenangan emas multievent internasional yang dibuat sejak 2010.
"Kami tidak ingin mendahulukan yang sedang menjadi pembahasan. Nanti pada saatnya, kami akan umumkan formatnya seperti apa dan bagaimana mekanisme penyaluran anggarannya. Ini yang masih dalam tahap finalisasi," kata Sekretaris Kemenpora (Sesmenpora) Gatot S Dewa Broto kepada HARIAN NASIONAL, Minggu (8/10).
Pada perhitungan mundur Asian Para Games 2018 Jakarta, Wakil Presiden RI Jusuf Kalla menyatakan rencana pemotongan birokrasi yang berdampak pada penghapusan Prima. Kondisi ini dilakukan demi penghematan anggaran.
Tak dimungkiri, gemuknya personel pada tubuh Satuan Pelaksana Program Indonesia Emas (Satlak Prima), turunan Prima, memakan biaya ekstra. Begitu juga Dewan Pelaksana Prima yang belum efektif berkontribusi bagi persiapan atlet, khususnya saat SEA Games 2017 Kuala Lumpur.
Namun, pembubaran Prima tanpa format pelatnas yang jelas tentu berpotensi melahirkan masalah baru. Perlu diingat, Presiden RI Joko Widodo meminta Indonesia masuk 10 besar di Asian Games.
Gatot menjamin, penghapusan Prima tak akan menimbulkan risiko Asian Games. Pasalnya, kebijakan dilakukan melalui pengkajian matang bersama stakeholder olahraga terkait.
"Soal anggaran Asian Games 2018 sudah ada kok uangnya di Kemenpora. Kami sudah persiapkan. Jadi jangan terlalu dikhawatirkan akan mengganggu Asian Games. Yang jelas secepatnya (penghapusan Prima)," ujar Gatot.
Sementara itu, Ketua Satlak Prima Achmad Sutjipto tak mempersoalkan jika programnya bubar. Namun, ia meminta agar kebijakan tersebut dilakukan tanpa perlu mencari pihak ketiga pengganti Prima.
"Satlak Prima itu dibentuk pemerintah. Jadi, saya mendukung penuh setiap kebijakan pemerintah jika ingin membubarkan Prima dengan tujuan pemotongan jalur birokrasi," kata Tjip, sapaan karib Achmad dalam rilisnya.
"Jadikan PB/PP sesuai keinginan pemerintah sebagai ujung tombak pembinaan mencapai prestasi di Asian Games dan jangan ada lagi pihak ketiga yang berdiri di antara pemerintah dengan PB/PP menggantikan Prima karena itu jelas akan mengembalikan panjangnya birokrasi."
Terpisah, pengamat olahraga Djoko Pekik Irianto khawatir prestasi Indonesia di Asian Games terancam jika Prima dibubarkan. Pasalnya, alokasi dana pembinaan olahraga bisa dilakukan karena mengacu pada Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2016, revisi dari Perpres 2010, terkait persiapan Indonesia menuju multievent internasional.
"Risikonya tahun 2018 tidak akan tersedia anggaran yang cukup untuk persiapan atlet menuju Asian Games. Jika tidak ada Perpres maka BAPENAS dan Kementerian Keungan tidak punya payung hukum yang kuat mengalokasikan anggaran besar," kata Djoko.
Sebagai informasi, anggaran yang disediakan pemerintah untuk Prima pada 2018 Rp 734,8 miliar. Jika pun dana ini langsung diberikan ke federasi olahraga terkait sebagai dana hibah, mereka juga harus diajarkan membuat laporan pertanggungjawaban.
"Jika yang dikeluhkan panjangnya birokrasi sehingga honor atlet dan pelatih terlambat tidak akan teratasi dengan pembubaran Prima. Jika tanggung jawab persiapan Asian Games dialihkan ke PB, sangat berisiko karena koordinasinya akan semakin semrawut," kata Djoko.
Menurut dia, pemerintah hanya perlu merampingkan personel Satlak Prima, setidaknya berkurang 30 orang. Kemenpora, lanjutnya, juga harus konsentrasi menangani kebutuhan pelatihan dan peralatan agar sampai tepat waktu ke semua cabor. Bukan dengan cara memotong kuota atlet pelatnas.
"Silakan bubarkan Prima, setelah Asian Games. Kembalikan proses penyiapan atlet ke PB cabor di bawah koordinasi dan kendali KONI dan KOI. Namun, saya juga tidak sependapat dengan Prima yang memotong kuota atlet pelatnas. Seharusnya mereka memikirkan skala prioritas yang mengacu anggaran," ungkapnya.
Sementara, pengamat olahraga Tommy Aprianto juga menyayangkan apabila Prima bubar tanpa adanya skema pelatnas yang jelas dari Kemenpora. Langkah terbaik adalah mengevaluasi administrasi guna mencegah keterlambatan uang saku, dll.
"Harus ada format baru. Jika dikembalikan ke KONI atau KOI, itu bisa verifikasi. Kenapa? Ketua KONI dan KOI memiliki kepentingan dipilih nanti karena mereka dipilih cabor-cabor. Berbeda dengan Satlak Prima yang dipilih Menpora," ujar Tommy.
Reportase : Ridsha Vimanda Nasution
Editor : Admin