Korupsi di DPR Masih Masif

JAKARTA (HN) - Fenomena korupsi yang melibatkan anggota DPR RI membuktikan praktik kotor itu masih masif terjadi di lingkungan parlemen dan merupakan sesuatu yang menjadi kebutuhan. Menurut Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti Jakarta Abdul Fickar Hadjar, tidak masuk akal jika tindak pidana korupsi yang merupakan kejahatan luar biasa didegradasi jadi tindak pidana biasa dalam R-KUHP.
Pernyataan itu mersepons OTT dan penetapan tersangka Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Fraksi Partai Golkar Eni M Saragih oleh KPK, pekan lalu. Menurut Fickar, perilaku koruptif pejabat parlemen sangat memprihatinkan, mengingat sebagai wakil rakyat yang justru mencontohkan perbuatan tidak terpuji bukan sebaliknya, akibat dibayangi keuntungan pundi-pundi rupiah, dengan cara kotor.
"Padahal, anggota dewan pernah mengatakan bahwa korupsi itu merupakan "oli" pembangunan. Faktanya, korupsi di kalangan pejabat publik (DPR) justru masih masif dan bahkan menjadi kebutuhan," katanya kepada HARIAN NASIONAL, Minggu (15/7).
Perilaku koruptif ini jelas merugikan pembayar pajak (publik), karena digerogoti para oknum anggota dewan, bukan untuk kepentingan pembangunan dan kesejahteraan rakyat, melainkan digunakan untuk kepentingan pribadi. Lembaga-lembaga pengawasan pun dinilai Fickar "mati suri" karena hanya melengkapi sistem semata, sementara kinerja mereka sama sekali tidak berpengaruh.
"Budaya korupsi di kalangan pejabat publik belum berkurang (bahkan terus bertambah," ujar Fickar.
Usai terjaring OTT, Jumat (13/7), penyidik komisi antirasuah menyematkan status tersangka Eni M Saragih bersama pemegang saham Blackgold Natural Resources Limited Johannes Budisutrisno Kotjo atas dugaan korupsi (suap) terkait kesepakatan kerja sama pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Riau-1. Politikus Golkar tersebut diduga menerima Rp 4,8 miliar dari Johannes.
Menurut Pakar Hukum Pidana Universitas Parahyangan Bandung Agustinus Pohan, sanksi pidana bagi partai politik (parpol) yang kadernya terlibat praktik korupsi (suap) perlu dipertimbangkan, menyusul tangkap tangan dan penetapan tersangka Eni M Saragih oleh penyidik komisi antirasuah. Tujuannya, agar ada efek jera dan kesungguhan bagi parpol dalam menyeleksi dan mengawasi para kader.
"Berdasarkan UU Tipikor, parpol bisa dikualifikasikan sebagai korporasi, hanya saja belum pernah dicoba dan masih ada perbedaan pendapat di kalangan penegak hukum," kata Pohan.
Pencabutan hak politik seseorang, kata Pohan, menjadi otomatis dalam pengadilan karena dilandasi alasan yang kuat, demi menghindari perbuatan serupa terulang lagi dan berimbas mencoreng nama baik parpol. Langkah pencegahan oleh parpol terhadap kader dinilai tidak cukup. Menurut Pohan, sanksi partai hanya bisa dilakukan dalam sistem peradilan pidana jika parpol diakui sebagai korporasi.
Dalam kegiatan OTT, penyidik KPK mengamankan sejumlah barang bukti yang diduga terkait kasus yakni berupa uang Rp 500 juta dalam pecahan Rp 100 ribu dan dokumen atau tanda terima tersebut. Penerimaan itu bagian dari komitmen fee 2,5 persen dari nilai proyek yang akan diberikan kepada Eni dan kawan-kawan terkait kesepakatan kontrak kerja sama pembangunan PLTU Riau-1 tersebut.
Menurut Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan, penerimaan ini merupakan yang keempat dari pengusaha Johannes dengan nilai total Rp 4,8 miliar. Pada Desember 2017 Rp 2 miliar, Maret 2018 Rp 2 miliar, dan 8 Juni 2018 Rp 300 juta. Suap tersebut diberikan Johannes kepada Eni melalui staf dan keluarga. Eni diduga berperan memuluskan proses penandatanganan kerja sama terkait proyek Riau tersebut.
Terkait penyidikan kasus, penyidik KPK kemarin melakukan serangkaian penggeledahan di sejumlah lokasi. Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, rumah Dirut PT PLN Sofyan Basir salah satu yang disasar penyidik. Penyidik membawa barang bukti empat kardus dan tiga koper untuk diperiksa lebih lanjut. Selain itu, kata Febri, di rumah Eni dan rumah, serta kantor, termasuk apartemen Johannes.