Terperangkap Dikotomi Seni Tinggi dan Seni Rendah

Priadji Kusnadi membuat siluet wajah. (HARIAN NASIONAL | YOSEP ARKIAN )
Seni siluet wajah terus berkembang seiring perkembangan zaman. Jenis seni ini memiliki keunikan tersendiri. Siluet menyederhanakan bentuk menjadi flat sehingga ciri-ciri yang tampak dari benda atau orang yang dibuat sangat detail.
"Di sisi lain, siluet bisa dianggap sebagai personifikasi yang lebih umum. Misalnya siluet cewek berambut panjang, bisa dianggap mewakili semua cewek yang punya rambut panjang," kata dosen seni grafis di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta Bambang "Toko" Witjaksono kepada HARIAN NASIONAL, Kamis (4/10).
Sebagai seorang seniman, dia menyayangkan seniman siluet tradisional berkurang karena galeri sepi pengunjung. "Sepi karena zaman berubah, tren berubah. Bisa juga karena pengaruh media digital," ujar dia.
Seharusnya seniman mengikuti perkembangan zaman, misalnya dengan mengganti medianya. "Dulu tekniknya manual, membutuhkan skill dan craftmanship. Sekarang menggunakan program atau komputer," katanya.
Selain itu, posisi seni siluet wajah masih termarjinalkan dalam seni rupa karena masih dianggap kerajinan semata. "Masih ada dikotomi seni tinggi (fine art) dan seni rendah (craft)," ujar Bambang.
Reportase : Yosep Arkian | Esti Tri Pusparini
Editor : Dionsius Bambang Arinto