Jejak Jawa di Lembah Gunung Rinjani

Gunung Rinjani. (ANTARA | AKBAR NUGROHO GUMAY)
KAWASAN perbukitan seperti Bukit Selong, Pergasingan dan Anak Dara mengelilingi daerah Sembalun yang berada di lembah kaki Gunung Rinjani (3.726 mdpl) di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB). Kini kecamatan Sembalun meliputi enam desa, meliputi Sembalun Bumbung, Sembalun Lawang, Sajang, Bilok Petung, Sembalun, dan Sembalun Timba Gading.
Kawasan tersebut ternyata memiliki kesamaan budaya dan bahasa dengan orang-orang yang tinggal di Pulau Jawa. Sebagian warganya meyakini nenek moyang mereka berasal dari Jawa. "Kami percaya leluhur kami berasal dari Jawa," kata Mertawi, Ketua Lembaga Adat Sembalun Lawang yang juga Sekretaris Dinas Pariwisata Kabupaten Lombok Timur.
Keyakinan mereka didasarkan pada kesamaan beberapa kosakata, seperti "peteng dedet" yang berarti gelap gulita, "kelambi" untuk pakaian, "mangan" untuk makan, dan "tetandur" untuk tanaman.
Kemiripan juga terlihat pada penyebutan beberapa angka seperti "lelu" untuk angka tiga (mirip telu dalam bahasa Jawa); "nam" untuk angka enam yang hampir sama dengan nem dalam bahasa Jawa; serta "pituk" untuk tujuh (pitu); dan "ahpulu" untuk angka 10 (sepuluh).
Selain itu, keserupaan dengan Jawa terlihat dari nama penganan ringan yang sering disajikan warga Sembalun seperti rengginang (semacam kerupuk berbahan beras ketan), kue cucur, serabi, wajik (wajit), gerupuk untuk kerupuk, tekel, gogos, dan godoh.
Mertawi mengaku pernah diminta menyiapkan 18 makanan ringan khas Sembalun dalam acara salah satu stasiun televisi. "Mereka menyebutkan hampir 80 persen penganan yang disiapkan sama dengan di Jawa," tuturnya.
Gelar para leluhur orang Sembalun juga mirip dengan gelar bangsawan Jawa. Misalnya, gelar raden. "Dulu pernah digunakan gelar raden, tapi sekarang sudah tidak ada yang menggunakan lagi," kata Mertawi.
Campuran unsur Jawa dan Bali juga tampak pada kesenian Tari Topeng di Sembalun. Demikian pula pada senjata mereka, tombak dan keris. "Karena itu, kami meyakini leluhur kami berasal dari Jawa," kata Mertawi.
Ihwal pengaruh Jawa di Sembalun, menurut cerita turun-temurun di daerah itu, bermula setelah letusan Gunung Samalas pada 1257. Ketika ada tujuh keluarga yang kembali ke tanah leluhur dan bertemu dengan dua punggawa Kerajaan Majapahit, Raden Arya Pati dan Raden Arya Mangunjaya. Sungai dan bukit petilasan kedua orang itu kemudian dinamai Majapahit.
Menurut Dr Alfons van der Kraan dalam bukunya Lombok, Penaklukan, Penjajahan, dan Keterbelakangan 1870-1940, meski tidak ada petunjuk meyakinkan bahwa pernah ada kekuasaan Jawa di Lombok, Lombok disebut dalam Nagarakretagama sebagai bagian dari Kerajaan Majapahit. Kitab Nagarakretagama karangan Empu Prapanca menyebut istilah "Lombok Sasak Mirah Adi".
Van der Kraan mengatakan, Dr R Goris dalam penelitiannya tentang penduduk lembah Sembalun menyatakan, penduduk lembah ini percaya mereka keturunan Jawa-Hindu dan percaya bahwa seorang kerabat, "saudara laki-laki" dari Majapahit dikubur dekat Desa Sembalun.
"Pengaruh ini ditemukan terutama dalam berbagai bentuk kesenian, seperti musik dan tari, juga dalam bahasa, terutama nama-nama tokoh dalam mitologi dan benda-benda keramat," kata dia.
Buku Bunga Rampai Kutipan Naskah Lama dan Aspek Pengetahuannya Museum Negeri Nusa Tenggara Barat menyebutkan, antara abad XI dan XVI ada penaklukan Kerajaan Selaparang dan Dompu oleh Ekspedisi Kerajaan Majapahit pimpinan Empu Nala pada 1357 Masehi.
Setelah Kerajaan Selaparang ditaklukkan, Gajah Mada datang ke Lombok yang saat itu dikenal dengan nama Selapawis. Kedatangan Patih Gajah Mada ditulis dalam memori yang disebut Bencangah Punan.
Menurut sebuah prasasti tembaga di Desa Menggala, Kecamatan Tanjung, Lombok Utara, Satria Lumendung Sari dari Waringin Sungsang di Majapahit datang bersama Gajah Mada.
Reportase : ANTARA
Editor : Andi Nugroho