KRISIS VENEZUELA
'Blokade Bantuan adalah Kejahatan'

Demonstran di sekitar markas Garda Nasional Bolivarian di Cotiza, Caracas, Venezuela, Senin (21/1) waktu lokal atau Selasa (22/1) WIB. (AFP | YURI CORTEZ )
CARACAS (HN) -
Krisis politik di Venezuela dianggap sebagai dampak kegagalan tata kelola pemerintahan yang diwarisi Maduro dari Hugo Chavez sejak 2013. Negara kaya minyak ini dilanda krisis ekonomi mulai 2014 dan merendahkan hajat hidup rakyatnya.
Menurut PBB, sekitar 2,3 juta orang Venezuela terpaksa mengungsi ke sejumlah negara tetangga sejak 2015.
Pemimpin oposisi Juan Guaido, yang diakui sekitar 50 negara sebagai presiden interim Venezuela, memperingatkan bahwa blokade militer untuk masuknya bantuan internasional merupakan "kejahatan kemanusiaan".
Presiden Nicolas Maduro masih bersikeras menolak masuknya bantuan dari luar negeri karena kekhawatiran bakal diboncengi kekuatan asing, terutama Amerika Serikat. Sejauh ini, militer mematuhi perintahnya untuk memblokade perbatasan dengan Kolombia.
Makanan dan obat-obatan yang dikirim AS tertimbun bersama bantuan dari sejumlah negara lain di Cucuta, Kolombia.
Selama empat hari terakhir, bantuan berupa makanan dan obat-obatan itu belum dapat disalurkan. Sementara dari wilayah perbatasan Venezuela, belasan dokter melakukan protes menuntut pembukaan akses masuk bagi bantuan internasional. Ahli bedah Jose Mateus de la Riva, yang turut dalam barisan demonstrasi, menuduh Maduro menenggelamkan dunia pengobatan Venezuela ke abad pertengahan.
"Ada yang harus bertanggung jawab tentang perkara ini, dan rezim Maduro seharusnya sadar," kata Guaido seusai menghadiri misa bersama pada Minggu (10/2). "Ini kejahatan melawan kemanusiaan, yang dilakukan militer."
Di mata Guaido, blokade jalur perbatasan "hampir seperti upaya genosida" karena mengancam 30-an juta rakyat Venezuela yang kelaparan. Lelaki berusia 35 tahun itu juga menyerukan lagi rencana demonstrasi besar-besaran pada Selasa (12/2) untuk mengenang sekitar 40 warga yang tewas karena krisis politik di negara ini sejak 21 Januari.
Guaido menawarkan ampunan bagi setiap anggota militer yang bersedia menarik kesetiaannya dari Maduro, tapi para petingginya masih berbaris di belakang sang Presiden. Bahkan, pada Minggu, militer Venezuela mengumumkan kegiatan latihan perang di seluruh pelosok negeri, berlaku hingga 15 Februari. Tujuannya adalah "menggalang kapasitas pertahanan negara".
Pertunjukan Politik
Maduro menolak masuknya bantuan internasional karena curiga itu hanya siasat AS untuk mengintervensi Venezuela. Ia menyebut penimbunan bantuan di Cucuta sebagai "pertunjukan politik" dan berdalih sanksi dari Washington menjadi penyebab kelangkaan bahan pangan dan obat-obatan.
Guaido membalas bahwa rezim Maduro tidak mau mengakui "krisis terjadi karena ulah mereka sendiri", dan berjanji siap menempuh segala cara demi menyelamatkan hidup rakyat serta menghentikan kesewenang-wenangan pemerintah. Tidak tertutup kemungkinan ia akan menyetujui intervensi asing (AS) demi menyelesaikan krisis di Venezuela.
"Demokrasi terlihat lebih dekat ketimbang sebelumnya. Masa depan milik kita," tegasnya.
Grup Kontak, yang terdiri dari sejumlah negara Eropa dan Amerika Latin, menyerukan percepatan pemilu presiden usai pertemuan di Montevideo, Uruguay, pekan lalu. Maduro menganggap grup tersebut bias, dan lantas meminta Paus Fransiskus sebagai mediator.
Guaido, Ketua Majelis Nasional, membuat langkah radikal pada 23 Januari lalu saat mengklaim diri sebagai presiden interim. Ia menyatakan Maduro sebagai perebut kekuasaan Venezuela, seiring kemenangannya dalam Pilpres Mei 2018 yang diboikot kubu oposisi dan diragukan oleh komunitas global.
Presiden AS Donald Trump sigap mendukung Guaido, diikuti mayoritas negara besar di Eropa dan Amerika Selatan. Maduro sendiri tetap disokong Rusia dan China, dua kreditor utamanya.
Menurut PBB, sekitar 2,3 juta orang Venezuela terpaksa mengungsi ke sejumlah negara tetangga sejak 2015.
Reportase : AFP | Dani Wicaksono
Editor : Dani Wicaksono