Pendapatan Petani Masih Rendah

Petani. (ANTARA | NYOMAN BUDHIANA )
JAKARTA (HN) -
Nilai tukar petani pada era 2010-2014 dinilai lebih tinggi dibandingkan era 2015-2018. Nilai tukar petani menjadi salah satu indikator dalam menentukan tingkat kesejahteraan petani.
Ketua Dewan Penasihat Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (PERHEPI) Bayu Krisnamurthi mengatakan, rasio antara indeks harga yang diterima petani dengan indeks harga yang dibayar petani dinilai lebih rendah pada masa pemerintahan Joko Widodo.
"Lagi-lagi kita menghadapi kondisi ke depan bahwa bertani menjadi makin tidak menarik," kata Bayu di Jakarta, Kamis (14/2).
Menurut dia, ketiadaan pertanian saat ini akan memicu ketiadaan produksi makanan dan ketiadaan masa depan di masa mendatang. Penurunan kesejahteraan petani, kata dia, memicu masyarakat yang tinggal di perdesaan berpindah ke perkotaan untuk mengadu nasib yang lebih baik.
Petani, kata dia, berpindah ke kota menjadi buruh dengan harapan mendapatkan pendapatan lebih besar. Bayu mengatakan, penduduk di kota yang saat ini berjumlah 53 persen akan melonjak menjadi 70 persen dalam 15-20 tahun mendatang karena perpindahan penduduk desa ke kota.
"Menjadi buruh di perkotaan yang upahnya lebih besar memicu petani tertarik pergi ke kota dibanding bertani di desa," ujarnya.
Di sisi lain, pertanian domestik menghadapi kendala impor bahan pangan. Kendati menjadi musuh bagi petani lokal, impor harus dilakukan jika kondisi pangan domestik tidak mencukupi.
Bayu menyarankan pemerintah segera mengedukasi petani dengan berbagai teknologi di bidang pertanian untuk memaksimalkan potensi hasil pertanian.
Ketua International Rice Research Institute (IRRI) Hasil Sembiring mengatakan, beras berkualitas akan segera disebarluaskan ke petani lokal. Surat keputusan dari Menteri Pertanian pun sudah dikantongi.
Ia berharap hasil penelitiannya bersama tim dapat meningkatkan produktivitas hasil pertanian. Dengan lonjakan produksi, ia berharap petani lokal dapat bertahan sehingga tidak melakukan urbanisasi.
"Lewat teknologi (beras) ini, kita juga berharap dapat menjadi solusi stunting (gizi buruk) yang melanda Indonesia akhir-akhir ini dengan menyediakan beras kaya nutrisi," katanya.
Indonesia for Global Justice (IGJ) menilai, pengelolaan sektor pangan di Tanah Air perlu lebih banyak melibatkan petani guna mewujudkan cita-cita kedaulatan pangan nasional.
"Pembangunan di sektor pertanian yang tidak melibatkan pelaku utamanya juga menjadi soal. Kami mendesak petani sudah saatnya terlibat dalam pelaku utama produksi pangan. Mereka juga harus dilibatkan dalam pengambilan keputusan publik yang terkait pangan," kata Direktur Eksekutif IGJ Rachmi Hertanti di Jakarta, Kamis.
Sektor pangan salah satu dari beragam tema yang akan dibahas dalam debat capres tahap kedua yang bakal diselenggarakan di Jakarta, Minggu (17/2).
Menurut Rachmi, setiap calon presiden juga harus bisa menyediakan akses terhadap keadilan bila ada kebijakan yang dinilai merugikan petani. Ia berpendapat, persoalan pangan di Indonesia perlu dilihat dari dampak kedaulatan pangan akibat kebijakan ekonomi terbuka, serta pembangunan sektor pangan yang belum memiliki strategi yang baik, khususnya terkait tata produksi, distribusi, dan konsumsi.
"Tanpa keseriusan pemerintah memperbaiki tata produksi, distribusi, dan konsumsi pangan di Indonesia, termasuk tata niaga impor pangan, tentunya akan berpotensi meningkatkan angka kemiskinan dan ketimpangan di pedesaan."
Reportase : Khairul Kahfi | ANTARA
Editor : Didik Purwanto