Profesi Petani Butuh Insentif Modal

Ilustrasi petani. (ANTARA | AMPELSA )
JAKARTA (HN) -

Penurunan minat menjadi petani di kalangan muda Indonesia menjadi tantangan dalam peningkatan permintaan pangan untuk tujuan pembangunan berkelanjutan (SDG).
Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Arifin Rudiyanto mengatakan, Indonesia memiliki tantangan di sektor peningkatan produksi dan pemenuhan kebutuhan pangan dalam negeri.
"Kita memiliki tantangan bagaimana meningkatkan produktivitas, bagaimana menjaga profesi pertanian tetap menarik bagi generasi muda dan lainnya," ujarnya di Jakarta, Selasa (2/4).
Menurut Arifin, pemerintah menghadapi tantangan memenuhi kebutuhan pangan penduduk di wilayah Indonesia saat musim panen dan musim kering. Selain itu, pemerintah harus menjaga pangan bisa tetap diperoleh semua warga dengan harga yang pantas, kualitas yang bagus, dan kuantitas memadai.
Saat ini, jumlah populasi penduduk Indonesia mencapai sekitar 264 juta jiwa. Pada 2045 diprediksi menjadi 318,9 juta jiwa.

Kementerian PPN, kata dia, akan mengusahakan agar profesi di pertanian lebih menarik bagi kalangan muda dengan berbagai pemanfaatan teknologi. "Teknologi 4.0 bisa membuat pertanian lebih efektif dan efisien. Bisa memberikan informasi akurat dan waktu sebenarnya kepada petani sehingga harga bisa diketahui dari mana pun dan tidak dipermainkan tengkulak (harga)," kata Arifin.
Terkait permodalan di sektor pertanian, kata dia, nantinya akan ditunjang pemerintah. "Lebih cepat dan tersedia di mana pun, di situlah nanti (pemerintah) akan lebih banyak berperan," katanya.
Kepala Perwakilan Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) Indonesia dan Timor Leste Stephen Rudgard mengatakan, penduduk muda di desa meninggalkan pertanian karena mereka kesulitan mendapatkan uang dan akhirnya pindah menuju perkotaan.
"Namun pertanian bisa menghasilkan (komersial). Yang perlu dilakukan adalah menggerakkan dan membuat pertanian lebih komersial. Memiliki pemasukan (uang), itulah yang mereka (penduduk muda) inginkan," ujarnya.
Pemerintah, kata dia, perlu menyiapkan insentif agar menjaga kalangan muda tetap tertarik untuk bertani di desa. "Saya mengetahui sektor ini (pertanian) akan diurus oleh petani yang semakin lemah dan semakin tua," kata Stephen.
Di sebagian besar negara Asia, sektor pertanian menghadapi masalah yang sama terkait petani yang semakin menua di daerah perdesaan. "Jika Anda pergi ke NTT dan Sulawesi, mereka pindah (ke kota). Pada akhirnya memiliki pemasukan (uang) adalah satu-satunya alasan agar mereka tetap di desa," ujarnya.
Menurut data FAO, urbanisasi di Asia yang tercepat di dunia dengan rata-rata 1,5 persen per tahun. Pada 2030 diprediksi lebih dari 55 persen penduduk Asia tinggal di perkotaan. "Saat ini Indonesia menjadi lebih urban, lebih dari 60 persen orang akan tinggal di kota dalam satu atau dua tahun mendatang," katanya.
Ia mengharapkan insentif investasi modal di sektor pertanian bagi kalangan muda bisa ditingkatkan pemerintah Indonesia. "Tanpa investasi modal, petani kalangan muda tidak akan berhasil. Petani kecil sulit menghasilkan uang. Tidak mudah bagi petani kecil untuk meminjam (modal)."
Reportase : Khairul Kahfi
Editor : Didik Purwanto