Dragon Ball hingga Karya 'tanpa Nama'

Mendobrak batasan hingga mengejar Pokemon, kekuatan novel grafik ala Negeri Sakura, manga, tak terbantahkan. Selain menghibur lewat gambar unik, cerita lucu, dan menarik, manga menginspirasi penggemar kartun Jepang (komik) di seluruh dunia.
Sejumlah karya legendaris favorit dunia dipamerkan dalam ekshibisi bertajuk ‘Manga' di British Museum, London, yang resmi dibuka Kamis (23/5) malam.
Ekshibisi di Inggris ini menandai pameran manga terbesar di luar Jepang. Pengunjung yang datang akan dibawa menempuh perjalanan panjang, dari akar seni tradisional ke industri bernilai miliaran dolar.
"Manga merupakan bentuk dongeng yang paling populer dewasa ini," ujar direktur museum Hartwig Fischer dalam preview media, Selasa (22/5) waktu setempat.
Dalam pameran itu, ditampilkan jejak-jejak evolusi manga mulai dari komik dan desain dramatis karya seniman terkemuka Jepang-salah satunya Katsushika Hokusai (1760-1849)-hingga Pokemon yang mendunia dan jadi fenomena global. Tak lupa, deretan animasi peraih Oscar, Studio Ghibli.
"Ada keterkaitan yang membuat manga begitu spesial. Bahasa visual yang mampu menyampaikan konten dengan sangat, sangat cepat. Itu kekuatannya," tutur kurator seni Jepang, Nicole Rousmaniere kepada AFP.
Nicole menambahkan, "Saya yakin, seni kaligrafi akan membuat siapa pun yang datang ke Jepang, tertarik. Melihat karakternya saja, otak kita sudah dikondisikan seperti melihat gambar."
Pameran ini tak sekadar memajang karya. Pengunjung dapat pula mempelajari cara membaca manga yang benar (dengan urutan gambar terbalik, dimulai dari sisi buku paling belakang) dan belajar banyak tentang pengaruh ‘Dewa Manga'. Dialah Osamu Tezuka (1928-1989) yang menciptakan karakter ikonik The Mighty Atom yang di kemudian hari lebih dikenal sebagai Astro Boy dan Princess Knight.
Tak Kenal Batas Gender & Usia
Gambar-gambar dari serial Dragon Ball juga dipamerkan. Termasuk karya-karya mendalam lain yang mengeksplorasi tema-tema lebih kompleks. "Ya, pameran ini bercerita untuk banyak orang yang merasa kisah mereka tidak akan diceritakan," kata Nicole.
Koleksinya, menurut Nicole, sangat berbeda. Sebab, digambar oleh orang-orang yang mungkin merasa dirinya berbeda dari kebanyakan orang.
"Tak perlu menunggu kaya untuk menggambar manga. Kita bisa langsung menggoreskan tinta di secarik kertas sobekan. Banyak orang melakukannya."
Salah satu seniman yang mengikuti pameran ini adalah Gengoroh Tagame, kreator manga yang cukup berpengaruh. "Manga menjadi media yang sangat kasual. Membacanya pun sangat mudah. Maka, memanfaatkannya untuk mengangkat isu-isu sosial bisa jadi powerful," ujarnya.
Seolah membantah asumsi bahwa kartun hanya untuk anak-anak, sejumlah karya menampilkan gambar mengerikan seperti bom nuklir Hiroshima dan gempa Kobe pada 1995.
Karena itu, bagi penggemar kisah-kisah ringan, pengunjung dalam langsung berpose dalam beragam gaya manga yang nantinya dicetak dalam foto digital.
Manga telah bergeser, dari gambar sederhana menjadi industi besar, dengan omzet global mencapai US$ 3,8 miliar pada 2016. Alhasil, bermunculan waralaba lintas platform. Dan, popularitasnya meroket seiring booming teknologi.
Betapa tidak, karakter manga kini umum didapati sebagai avatar oleh pengguna internet-sebagai identitas alternatif di dunia maya.
"Ada manga untuk semua. Secara harfiah, setiap subjeknya," kata Nicole.
Namun, di sisi lain, segala kemudahan yang memfasilitasi penciptaan manga secara digital berpotensi menjadi ancaman bagi penggemar manga tradisional. "Aku rasa, gambar tangan pada akhirnya akan semakin langka. Semoga kita bisa melestarikan keterampilan ini."