Literasi Damai Generasi Literat

Bangunan beton itu menjulang tinggi. Hampir semua ruangan disekat jeruji besi. Penjaga keamanan berada di mana-mana.
Sekali masuk, sulit keluar. Terlebih si penghuni telah divonis bersalah oleh hakim pengadilan. Satu ruangan bisa diisi 5-10 orang sebagai teman tidur. Kejahatan yang mereka lakukan pun berbeda-beda, mulai dari mencuri, merampok, narkoba, pelecehan seksual, hingga pembunuhan.
Suasana Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Salemba, Jakarta, itu sempat membuat Milastri Muzakki takut saat kali pertama menginjakkan kaki. Sebab, LPKA ini ternyata satu bangunan dengan lapas dewasa. Seiring perjalanan waktu, ketakutan Milastri hilang lantaran iba melihat kebebasan anak-anak itu terbelenggu. Dia percaya setiap orang baik, terlebih anak-anak yang masih perlu perlindungan.
Milastri lalu mendirikan komunitas Generasi Literat dengan program andalan Pendidikan Literasi Damai. Salah satu sasarannya anak-anak dalam LPKA yang sebagian di antara mereka putus sekolah. Komunitas ini lebih banyak menekankan kecerdasan emosional anak, ketimbang sekadar membaca atau menulis.
"Bentuk kegiatan kami kelas, tetapi fun. Bukan ceramah. Kami ngampar membentuk lingkaran diselingi games. Peragaan menggunakan ATK. Tak ada penjelasan teori yang menggurui. Misalnya, kami menyediakan gambar wajah, mereka berlomba mencocokkan mana emosi positif dan mana negatif. Ada booth game juga kartu Pancasila dan ular tangga Nusantara," tutur dia saat ditemui HARIAN NASIONAL di Lebak Bulus, Jakarta Selatan, Selasa (2/7).
Dalam setiap pertemuan, sekitar 20 menit anak-anak diajak membaca buku-buku positif untuk menggali potensi mereka. Setiap akhir kelas, mereka diwajibkan menulis refleksi demi membangkitkan kembali cita-cita mereka yang sempat terkubur, begitu masuk LPKA.
Selain itu, kegiatan ini demi mengubah pola pikir dan perilaku anak sehingga bisa memutus stigma tentang anak binaan. Sebagian anak mulai berubah setelah mengikuti beberapa kegiatan kelas. "Kami biasakan mengucapkan ‘terima kasih' dan ‘tolong'. Waktu awal mereka merasa lucu dan mencemooh penggunaan kedua ucapan itu. Karena terus menerus digunakan, akhirnya mereka terbiasa. Jadi, kami mengajarkan sopan satun, attitude, dan bahasa yang baik," kata Milastri.
Kedekatan anak-anak dengan relawan terjalin setelah 16-20 kali pertemuan atau 3 bulan. Anak-anak kian terbuka kepada relawan serasa keluarga, teman, bahkan berlanjut setelah mereka keluar dari LPKA.
Salah seorang di antaranya anak berinisial A. Saat di LPKA, dia putus asa atas masa depannya. Dia berpikir "paling kerja dibengkel nanti". Setelah bebas, dia melanjutkan sekolah dan aktif mengikuti berbagai kegiatan organisasi.
Milastri tak bisa sendiri berkarya sosial. Dia dibantu beberapa relawan pada setiap batch. Syaratnya, mereka harus sabar. Bersedia meluangkan waktu, tenaga, dan uang. Layaknya kegiatan sosial lain, Generasi Literat tak menyediakan biaya. "Sebelum mulai mendampingi anak-anak, kami latih dulu teman-teman relawan tentang silabus kami. Saya berterima kasih kepada relawan yang ikhlas berbagi bersama," ujar dia.
Salah seorang relawan Generasi Literat Elita Triandayani bersyukur pernah mendapingi anak binaan. Rasa penasaran terhadap kondisi psikologis dan pemenuhan pendidikan nonformal anak di LPKA mendorong dia bergabung. Setelah menginjakkan kaki di LPKA, pandangan tentang anak binaan menyeramkan dan tak terkendali, terbantahkan. "Mereka ramah kepada kami yang bukan siapa-siapa. Kami dekati personal, lalu disentuh hatinya. Akhirnya, mereka menganggap kami bagian dari keluarga," katanya.
Karyawati perusahaan swasta ini melakukan pendekatan personal dengan bertanya langsung kondisi anak binaan. Dia menempatkan diri seperti teman sebaya. Keberadaan anak-anak di LPKA membuat emosional mereka kurang stabil sehingga diarahkan untuk mengekspresikan diri lewat tulisan. "Mereka keluar, orang akan menstigma. Kami ajarkan mereka berubah bukan sekadar keterampilan, tapi juga attitude. Di antara mereka yang keluar, menjadi lebih baik. Ada juga yang berdagang," ujar Elita.
Anisa Nidya Camila mengaku mendapatkan informasi baru setelah bergabung menjadi relawan Generasi Literat. Dia menemukan, sebagian anak yang berhadapan hukum belum terpenuhi hak-hak mereka. Mereka harus menunggu uluran tanggan pemerintah. Padahal, kesempatan pihak luar untuk membantu, terbuka seperti yang dilakukan Generasi Literat. "Lebih kepada diri sendiri yang tetap berusaha dan bertindak langsung mewujudkan (pemenuhan hak-hak anak) itu," katanya.
Anisa berharap, bukan hanya komunitas yang berusaha "melihat" anak anak kategori anak rawan itu. Masyarakat dan lingkungan tempat tinggal yang mungkin masih banyak anak dalam kategori seperti itu, jangan hanya melihat mereka dari sisi kenakalan saja. Tapi ikut melihat, anak rawan masih bisa berubah dan berhak atas segala sesuatu. Hak milik mereka sama seperti anak pada umumnya. "Generasi Literat juga sedang berusaha kembangin itu ke beberapa LPKA di daerah lain. Jadi tidak hanya anak-anak di Jakarta saja yang dipenuhi hak-hak mereka," ujar dia.