BUMI MANUSIA
Mahakarya Maestro Sastra Indonesia di Layar Lebar

Film Bumi Manusia. (YOUTUBE)
Tahun ini menandai momen penting perayaan penulis Tanah Air, Pramoedya Ananta Toer. Dua karya masterpiece-nya yakni Bumi Manusia dan Perburuan dialihwahanakan ke layar lebar dan ditayangkan serentak, 15 Agustus mendatang.
"Sebenarnya bukan untuk persaingan. Kami sudah meminta izin kepada pihak keluarga Pak Pram juga," ujarnya kepada HARIAN NASIONAL, Kamis (4/7).
Bumi Manusia merupakan masterpiece ‘babon' dari Pram yang sudah diketahui dunia. Juga Perburuan yang direkomendasikan langsung oleh keluarga Pram.
Dua karya penulis legendaris tersebut ditulis pada masa-masa perlawanan. Kala itu, Pram masih di dalam jeruji penjara. Kebebasannya terenggut. "Seperti yang diungkapkan Pram bahwa semua karya miliknya adalah anak rohaninya sendiri," tuturnya.
Pram hidup sebagai sastrawan Indonesia. Namanya besar melalui karya-karyanya seperti dalam tetralogi Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, Rumah Kaca, juga Gadis Pantai, Perburuan, dan lain sebagainya. Penikmat dan fans-nya (pramis) pun juga besar.
Wujud transformasi dari bentuk novel ke dalam film yang digarap Hanung Bramantyo dan Richard Oh ini juga sempat menuai polemik. Pramis keberatan buku difilmkan lantaran tidak ingin ‘merusak' mahakarya.
Maka, siapapun, termasuk pekerja seni, bebas berproses kreatif.
"Saya juga ‘pramis'. Saya bersama kawan sejarawan juga melakukan berbagai riset sejarah dalam penggarapannya dan menemukan missing link dalam Bumi Manusia. Artinya novel tersebut merupakan fiksi," kata Hanung, menguraikan.
Missing link yang dimaksud Hanung seperti setting rumah Pak Acong-rumah pelesiran justru berada di Wonokromo-dekat rumah Nyai Ontosoroh. Seharusnya ‘rumah candu' (prostitusi tersebut) ada di tengah kota atau di pelabuhan yakni di Surabaya.
Dengan menganggap novel Bumi Manusia fiksi, Hanung juga lebih bebas bekerja secara kreatif, termasuk dengan tidak menghilangkan proses riset di dalamnya.
Hanung bahkan juga berani menggambarkan proses hukum Nyai Ontosoroh saat diadili oleh pengadilan. Dalam novel digambarkan Nyai duduk di kursi, tapi dalam film digambarkan sambil jongkok.
Status Nyai atau gundik dalam masyarakat zaman Belanda posisinya bahkan lebih rendah daripada rakyat jelata. Maka, ketika menggunakan peraturan dalam pengadilan pribumi, Nyai Ontosoroh harus jongkok, sesuai status sosialnya.
Sementara itu, sutradara film Perburuan Richard Oh menilai, bentuk memfilmkan karya besar Pram merupakan usaha ‘menangkap kembali jiwa' Pram melalui karya visual. Jiwa bebas seorang seniman.
Sebelum mengangkat Perburuan sebagai film, Richard sempat tertarik memfilmkan Gadis Pantai. "Tapi, oleh keluarga direkomendasikan Perburuan. Ini merupakan karya apik beliau," ujarnya.
Peluang untuk memfilmkan tokoh-tokoh bersejarah bukan satu atau dua kali sukses di layar lebar perfilman Indonesia. Tangan dingin Hanung Bramantyo, misalnya, telah menggarap Kartini, Sang Pencerah, dan sebagainya.
Hanung tidak ingin sekadar membuat film, tapi lebih ingin memperlihatkan spirit tokoh-tokoh pahlawan kepada generasi muda.
Reportase : Ramadani W
Editor : Devy Lubis