Saksi Bowo Sidik tak Kooperatif

Bowo Sidik Pangarso (tengah) dibawa ke mobil tahanan usai menjalani pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (28/3/2019). (ANTARA | RENO ESNIR )
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus berupaya membuka aktor-aktor pemberi uang kepada tersangka kasus suap bidang pelayaran yang juga politikus Partai Golkar Bowo Sidik Pangarso.
Selain dari General Manager PT Humpuss Transportasi Kimia sebesar Rp 2,5 miliar, Bowo diduga menerima gratifikasi Rp 6,5 miliar terkait jabatannya sebagai anggota DPR RI dari berbagai sumber. Salah satu sumber itu diduga terkait pengaturan Dana Alokasi Khusus Kabupaten Meranti.
Untuk itu, KPK menjadwalkan pemeriksaan terhadap dua orang yang diduga mengetahui siapa saja pemberi dana yang rencananya dipergunakan untuk pencalegan Bowo pada Pileg 2019 itu. "Kami panggil Muhajidin Nur Hasyim. Namun, yang bersangkutan tidak hadir sehingga kami jadwalkan lagi pada Rabu 17 Juli 2019," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, Senin (15/7).
Muhajidin adalah adik dari M Nazaruddin. Bekas Bendahara Umum Partai Demokrat itu kini tengah menjalani hukuman kurungan di Lapas Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat, karena terlibat beberapa kasus tindak pidana korupsi. "Pada 9 Juli lalu, Nazaruddin juga sempat akan diperiksa, tetapi yang bersangkutan tak bisa dimintai keterangan karena sakit. Pemeriksaan dia juga kami jadwalkan ulang," ujar Febri.
Baik Mujahidin maupun Nazaruddin diduga mengetahui sumber aliran dana yang diterima Bowo. KPK sempat menggeledah ruang kerja M Nasir yang juga adik dari Nazaruddin dan Bupati Meranti Irwan. KPK menduga para saksi itu mengetahui soal pengurusan DAK Kabupaten Meranti.
"Kami mau mencari bukti aliran uang ini ke mana sehingga semua keterangan dibutuhkan untuk pengembangan kasus ini," kata Febri. Dia mengatakan, KPK berharap saksi-saksi yang dipanggil tetap kooperatif. Keterangan yang tidak valid dan ketidakkooperatifan para saksi, bisa merugikan mereka sendiri.
Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti Jakarta Abdul Fickar Hadjar berpendapat, KPK harus membuka hasil penggeledahan secara terbuka, termasuk penggeledahan di kantor Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita. "Sebab yang dicari adalah sumber uang dan Bowo sempat berkoar soal nama-nama yang terlibat. Kalau relevan, seharusnya KPK mengarah kesana," ujar dia.
Menurut Fickar, KPK bisa saja mencari fakta yang diduga diketahui oleh para saksi. Jika perlu, KPK membuka temuan baru yang penting untuk diketahui. "Terlebih kali ini ada beberapa nama lama yang kembali mencuat," katanya.
Reportase : Tegar Rizqon Alfian
Editor : Ridwan Maulana