Pemimpin Hong Kong Usulkan Dialog

Kepala Eksekutif Hong Kong Carrie Lam. (AFP | ANTHONY WALLACE )
Pembatalan permanen kebijakan ekstradisi belum meredakan kemarahan publik. Aksi massa tetap dilanjutkan, termasuk rencana memblokade jalur menuju bandara, akhir pekan ini.
HONG KONG (HN) - Kepala Eksekutif Hong Kong Carrie Lam mengusulkan jalan dialog, Kamis (5/9), untuk menghentikan gelombang demonstrasi yang melanda kota bisnis internasional ini selama tiga bulan terakhir.
Lam, tokoh pro-Beijing, membuat pengumuman mengejutkan di hari sebelumnya. Ia memenuhi satu dari lima tuntutan demonstran, yaitu membatalkan secara permanen kebijakan ekstradisi ke China yang menjadi subjek kontroversi.
Namun, kalangan aktivis menganggap keputusan tersebut "terlalu remeh, terlalu terlambat". Mereka tidak puas jika tidak semua tuntutan terpenuhi.
Jutaan warga Hong Kong turun ke jalan memprotes kebijakan tersebut sejak Juni. Aksi massa ini sekaligus menghadirkan tantangan terbesar bagi China terkait kedaulatan kota semi-otonom sejak diserahkan oleh Inggris pada 1997. Biasanya unjuk rasa berakhir dengan bentrokan antara aparat keamanan Hong Kong dan kelompok demonstran garis keras.
Karena Lam dan Beijing bersikeras dengan sikapnya, rakyat semakin geram. Skala tuntutan dinaikkan.
Lugasnya, Lam didesak mundur dan aparat yang merepresi demonstran harus diseret ke pengadilan. Tak kurang dari 900 pengunjuk rasa yang ditangkap pun harus dibebaskan. Jika Lam lengser, aktivis pro-demokrasi menghendaki pemilihan pemimpin baru dilakukan independen tanpa campur tangan Beijing.
Lam, yang menolak lengser dan terus mendapat dukungan Beijing, melontarkan ajakan dialog demi menghentikan kekacauan dan memulihkan ketertiban sosial, sekaligus mengembalikan denyut nadi perekonomian Hong Kong yang tersendat karena aksi.
"Jelas bahwa kebijakan ekstradisi tidak lagi menjadi sumber tunggal keresahan dalam masyarakat kita," katanya. "Saya mengakui ada kemarahan terhadap kesenjangan dan terhadap pemerintahan Hong Kong yang perlu diselesaikan melalui dialog."
Masalahnya, gerakan massa selama 14 pekan terakhir terjadi secara horizontal. Tidak ada pemimpin sah. Ajakan berdemonstrasi disebarluaskan melalui media sosial, sementara kelompok-kelompok yang berpartisipasi memiliki haluan bervariasi, dari moderat sampai radikal. Dengan kata lain, seruan dialog dari Lam sulit diwujudkan.
Faktanya, keputusan Lam untuk membatalkan permanen kebijakan ekstradisi dipandang skeptis oleh sebagian warga. Dalam sebuah "konferensi pers warga negara" pada Rabu sore, seorang aktivis perempuan bertopeng menolak tegas konsesi yang ditawarkan pemerintah.
"Jika Carrie Lam mencabut kebijakan tersebut dua bulan lalu, mungkin situasi Hong Kong bisa dipulihkan," ujarnya. "Namun, memasang perban untuk luka yang sudah membusuk berbulan-bulan tidak ada gunanya."
Forum publik di dunia maya, yang biasa digunakan untuk menyampaikan ajakan demo, segera memunculkan agenda baru. Aksi massa tetap diteruskan, termasuk rencana memblokade sistem transportasi menuju bandara pada Sabtu (7/9).
Kelompok anggota parlemen pro-demokrasi, yang lebih moderat, juga menolak keputusan pemerintah karena hanya satu tuntutan dikabulkan. Bahkan tokoh-tokoh politik terkemuka dalam rezim pemerintahan Lam meyakini pembatalan kebijakan ekstradisi belum cukup meredakan kemarahan publik.
Lam konsisten menolak empat tuntutan lain dan ia terus mendapatkan kepercayaan dari Beijing untuk menyelesaikan krisis secara internal. Pemerintah China sendiri masih menahan diri untuk campur tangan, meskipun berulang kali mengedarkan video propaganda terkait cara mengatasi kerusuhan akibat demonstrasi.
Reportase : AFP | Dani Wicaksono
Editor : Dani Wicaksono