Dua WNA Tersangka Impor Limbah B3

LSW tersangka Impor Limbah B3, Dirjen Penegakan Hukum KLHK Rasio Ridho Sani dan Direktur Penegakan Hukum Pidana KLHK Yazid Nurhada saat memberi keterangan pers, (HARIAN NASIONAL | YAUMAL HUTASUHUT)
Sebanyak 87 kontainer limbah tanpa izin resmi KLHK masuk ke wilayah Indonesia.
JAKARTA (HN) - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menetapkan dua warga negara asing (WNA) asal Singapura sebagai tersangka dalam kasus impor limbah terkontaminasi bahan berbahaya dan beracun (B3). Kedua tersangka yakni LSW selaku komisaris dan KWL selaku Direktur PT Advance Recycle Technology (PT ART) sengaja memasukkan 87 kontainer limbah tanpa izin resmi ke wilayah Indonesia.
Kasus ini terungkap saat Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean A Tangerang memberikan surat permohonan kepada Direktorat Verifikasi Pengelolaan Limbah B3 (PSLB3) untuk memeriksa 24 kontainer di area PT ART di Kawasan Berikat, Cikupa, Tangerang. Namun, pemeriksaan tidak dilaksanakan karena tidak ada surat rekomendasi yang dikeluarkan KLHK dan Kementerian Perindustrian (Kemenperin).
"Karena surat rekomendasinya tidak ada, sehingga Direktur Verifikasi menduga ada kemungkinan surat izin impornya juga ilegal. Oleh karena itu, Direktur Verifikasi mengirimkan surat balasan kepada Bea Cukai dengan tembusan Direktorat Penegakan Hukum untuk melakukan penyelidikan," kata Direktur Penegakan Hukum Pidana Direktorat Jenderal Penegakan Hukum (Gakkum) KLHK Yazid Nurhuda di Jakarta, Kamis (3/10).
Berdasarkan laporan, PT ART diduga memasukkan 87 kontainer limbah ke Indonesia sejak Mei-Juni 2019 dengan rincian 24 kontiner berada di Kawasan Berikat dan 63 kontainer di Pelabuhan Tanjung Priok. Limbah tersebut berasal dari Hong Kong, Spanyol, Kanada, Australia, dan Jepang. Saat memproses barang bukti, penyidik menemukan scrap plastik berupa printed circuit board, remote control bekas, baterai bekas, dan kabel bekas.
Berdasarkan temuan tersebut, KLHK melanjutkan proses hukum dari penyelidikan ke tingkat penyidikan. Sesuai UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) Pasal 116 ayat (1), subjek hukum tindak pidana lingkungan dilakukan badan usaha dan perseorangan yang memberi perintah. "Dalam konteks kasus ini, tersangka pertama adalah badan usaha yang diwakili oleh KWL sebagai direktur dan LSW sebagai perseorangan yang memberikan perintah," ujarnya.
Atas perbuatannya, kedua tersangka dikenakan Pasal 105 dan/atau Pasal 106 UU Nomor 32 Tahun 2009. Pasal 105 tentang memasukkan limbah ke wilayah Indonesia dengan ancaman hukuman paling lama 12 tahun dan denda paling banyak Rp 12 miliar. Sementara Pasal 106 tentang memasukkan limbah B3 dengan ancaman penjara maksimal 15 tahun dan denda paling banyak Rp 15 miliar.
Dirjen Gakkum KLHK Rasio Ridho Sani mengatakan, kejahatan impor limbah dan/atau limbah B3 tanpa izin merupakan kejahatan terberat dibandingkan kasus-kasus pidana lingkungan lain karena berdampak pada kesehatan masyarakat dan lingkungan hidup. Penetapan tersangka dalam kasus impor limbah tanpa izin ini pertama dilakukan sejak UU PPLH ditetapkan tahun 2019.
Limbah-limbah yang dimiliki PT ART dalam tahap pengumpulan bahan baku sehingga belum berdampak pada lingkungan sekitar. Rencananya, limbah tersebut akan dimusnahkan atau diekspor kembali ke negara asalnya. "Bisa dimusnahkan atau diekspor lagi, tergantung keputusannya. Kalau mekanismenya Basel ya diekspor lagi," katanya.
Reportase : Seruni Rara Jingga
Editor : Herman Sina