2 dari 3 Anak 13-17 Tahun Pernah Alami Kekerasan

ILUSTRASI (thelocal.de)
PALU (HN) - Dua dari tiga anak Indonesia berusia 13 - 17 tahun pernah mengalami kekerasan, baik secara fisik, emosional, maupun kekerasan seksual. Ini berdasarkan survei nasional pengalaman hidup anak dan remaja tahun 2018.
Data itu disampaikan Kepala Bidang Perlindungan Anak Korban Bencana dan Konflik pada Deputi Perlindungan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) Sumbono pada pelatihan aktivis perlindungan anak terpadu berbasis masyarakat (PATBM) di Palu, Rabu (9/10). Sumbono menyampaikan sambutan mewakilii Asisten Deputi Perlindungan Anak KPPPA.
Di Sulawesi Tengah (Sulteng), kata dia, berdasarkan Simfoni-PPA tahun 2019 telah terjadi 263 kasus kekerasan terhadap anak. Kasus kekerasan terbanyak menimpa anak usia 13-17 tahun.
"Anak-anak di Sulteng juga memiliki kerentanan yang tinggi terhadap kekerasan karena berada pada fase pascabencana. Dalam periode pascabencana, dengan tingkat stres yang tinggi di masyarakat, huntara yang belum layak anak dan perempuan, serta kondisi-kondisi lain yang belum stabil membuat anak-anak di Sulteng menjadi lebih rentan terhadap kekerasan," katanya.
Padahal, menurut dia, anak berhak mendapat hak dan perlindungan yang layak sesuai UU Nomor 35 Tahun 2014. Hak perlindungan, hak untuk mendapat perlindungan dari diskriminasi, tindak kekerasan, dan penelantaran. Karena itu, perlindungan anak dan pemenuhan hak anak menjadi hal yang sangat penting dilakukan secara bersama-sama, baik oleh negara, pemerintah pusat, pemerintah daerah, maupun masyarakat.
Sebagai langkah pencegahan, KPPPA membentuk suatu gerakan Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM) serta sebagai perpanjangan tangan KPPPA di daerah. "Untuk itu KPPPA melakukan penguatan kapasitas secara berkala terkait berbagai topik perlindungan anak kepada para fasilitator dan aktivis PATBM untuk terus meningkatkan kualitas sumber daya manusia," ujarnya.
Seperti dikutip Antara, pertemuan itu melibatkan aktivis, komunitas peduli anak dari desa dan kelurahan di daerah terdampak bencana dari Palu, Sigi, dan Donggala.
Data itu disampaikan Kepala Bidang Perlindungan Anak Korban Bencana dan Konflik pada Deputi Perlindungan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) Sumbono pada pelatihan aktivis perlindungan anak terpadu berbasis masyarakat (PATBM) di Palu, Rabu (9/10). Sumbono menyampaikan sambutan mewakilii Asisten Deputi Perlindungan Anak KPPPA.
Di Sulawesi Tengah (Sulteng), kata dia, berdasarkan Simfoni-PPA tahun 2019 telah terjadi 263 kasus kekerasan terhadap anak. Kasus kekerasan terbanyak menimpa anak usia 13-17 tahun.
"Anak-anak di Sulteng juga memiliki kerentanan yang tinggi terhadap kekerasan karena berada pada fase pascabencana. Dalam periode pascabencana, dengan tingkat stres yang tinggi di masyarakat, huntara yang belum layak anak dan perempuan, serta kondisi-kondisi lain yang belum stabil membuat anak-anak di Sulteng menjadi lebih rentan terhadap kekerasan," katanya.
Padahal, menurut dia, anak berhak mendapat hak dan perlindungan yang layak sesuai UU Nomor 35 Tahun 2014. Hak perlindungan, hak untuk mendapat perlindungan dari diskriminasi, tindak kekerasan, dan penelantaran. Karena itu, perlindungan anak dan pemenuhan hak anak menjadi hal yang sangat penting dilakukan secara bersama-sama, baik oleh negara, pemerintah pusat, pemerintah daerah, maupun masyarakat.
Sebagai langkah pencegahan, KPPPA membentuk suatu gerakan Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM) serta sebagai perpanjangan tangan KPPPA di daerah. "Untuk itu KPPPA melakukan penguatan kapasitas secara berkala terkait berbagai topik perlindungan anak kepada para fasilitator dan aktivis PATBM untuk terus meningkatkan kualitas sumber daya manusia," ujarnya.
Seperti dikutip Antara, pertemuan itu melibatkan aktivis, komunitas peduli anak dari desa dan kelurahan di daerah terdampak bencana dari Palu, Sigi, dan Donggala.
Reportase : Burhanuddin
Editor : Burhanuddin