Trauma Bencana Sosial Lebih Dalam

Warga Wamena mulai mengungsi meninggalkan Wamena menggunakan pesawat Hercules pascakerusuhan pada Senin (23/9/2019) (ANTARA | IWAN ADISAPUTRA )
JAKARTA (HN) -
Usai melaksanakan kordinasi dengan guru dan doa pagi bersama, tim pemulihan trauma langsung berbagi keceriaan untuk para siswa-siswi di halaman sekolah dengan permainan dan bernyanyi bersama. "Dengan gerakan sambil membuat lingkaran yang di pimpin oleh Akp Mince Mayor. Kemudian kegiatan dilanjutkan pada sesi pembagian kelas menjadi 6 kelompok pemain untuk melatih konsentrasi dalam game."
Trauma akibat bencana sosial lebih dalam dibandingkan trauma yang disebabkan bencana alam. Peristiwa kerusuhan di Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Papua pada Senin 23 September lalu salah satunya.
"Traumanya lebih dalam bencana sosial. Bencana alam itu mereka sadar itu akibat fenomena alam, ada yang menganggap bencana alam itu hukuman dari Tuhan, ada yang menganggap teguran dari Tuhan," kata Koordinator Tim Layanan Dukungan Psikososial (LDP) Kementerian Sosial (Kemensos) Milly Mildawati di Jakarta, Jumat (11/10).
Masyarakat terdampak bencana sosial seperti kerusuhan Wamena, menyaksikan rumah dan tempat usaha mereka rusak karena manusia dan tanpa tahu alasannya. "Kalau bencana alam, meski belum aman mereka tetap ingin kembali ke rumahnya. Misalnya gunung meletus, meski belum aman mereka memaksa untuk pulang ke rumah takut harta bendanya terdampak bencana alam," ujarnya.
Berbeda dengan bencana sosial, masyarakat rela meninggalkan harta benda demi keamanan dan keselamatan mereka. Seperti diketahui, pascakerusuhan Wamena ribuan orang eksodus meninggalkan kota di pegunungan tengah Papua itu karena khawatir dengan keamanan. Rasa takut dan khawatir dinilai wajar, karena masyarakat baru mengalami kejadian traumatis.
Untuk itu, Milly bersama tim LDP Kemensos memberikan layanan untuk memulihkan trauma pascakerusuhan. Kepada anak-anak, kegiatan yang dilakukan seperti bermain, bercerita, dan bernyanyi. Sedangkan untuk orang dewasa, layanan yang diberikan berupa kegiatan percakapan sosial yang bertujuan memberikan ruang komunikasi, mendengarkan keluhan dan harapan mereka.
Yayasan Wahan Visi Indonesia (WVI) Kabupaten Jayapura turut memberikan layanan trauma healing bagi anak-anak pengungsi asal Wamena yang masih ditampung di Tongkonan, Kotaraja, Distrik Abepura. "Kalau ada respon bencana, kita WVI hadir untuk memberikan ruang ramah anak di tempat-tempat pengungsian atau di posko pengungsian," ujar Koordinator WVI Kabupaten Jayapura Wangsit Panglikur.
Terapi diberikan agar anak yang mengalami trauma tidak kehilangan masa depannya. Selain membaca, anak-anak juga bisa menggambar dan belajar mewarnai. WVI menghadirkan buku-buku bacaan dengan mobil perpustakaan keliling untuk menghadirkan kembali keceriaan anak-anak pengungsi walaupun dalam situasi bencana. Mobil perpustakaan keliling itu akan ada hingga tidak ada pengungsi di Tongkonan.
Polda Papua juga kembali memberikan pemulihan trauma kepada para murid SD Yapis Wamena untuk mendukung kesehatan mental dan psiko kepada 165 pelajar di sekolah itu. "Kegiatan itu dipimpin oleh Kanit 1 Subdit 4 Ditreskrimum Polda Papua AKP Mince Mayor, yang didampingi AKP Saidah Hobrow, KBO Sat Binmas Polres Jayawijaya Ipda Agustian I, Ipda Try Abryansyah M.Psi, Ipda Ivone AR, dan disaksikan oleh Kepala SD Yapis Wamena, Samsul Muarif dan 19 orang guru," kata Kabid Humas Polda Papua Kombes Pol AM Kamal.
Reportase : ANTARA | Seruni Rara Jingga
Editor : Herman Sina