Riak Masalah Pelayanan BPJS

Warga Karet itu kecewa karena putranya Adi (11) hanya mendapatkan fasilitas kelas III di rumah sakit itu. Padahal, kurir di perusahaan listrik di Kedoya ini terdaftar sebagai peserta BPJS Kesehatan kelas II.
Adi dirawat di rumah sakit itu karena infeksi saluran pencernaan dan kurang cairan (dehidrasi) yang mengakibatkan demam tinggi. "Anak saya masuk IGD jam setengah dua (dini hari). Saya enggak mikir (dapat fasilitas) kelas berapa, yang penting cepat ditangani," kata lelaki bertopi Manchester United itu ditemui HARIAN NASIONAL, Selasa (19/11).
Bersama istri dan dua anaknya kala mendampingi Adi, Anoy sedih karena pelayanan kesehatan yang diterima berbeda dari iuran yang dibayarkan. Dia pun berniat meminta rujukan ke rumah sakit yang lebih besar dengan pelayanan yang sesuai, jika kesehatan anaknya tak berangsur membaik. "Walaupun nanti klaim pembayaran sesuai kelas III, sayang saja. Selama ini, kami bayar buat kelas II. Buat apa dapatnya enggak sesuai sama yang dibayarin," ujar dia.
Namun, pengalaman itu tak membuat Anoy berniat menurunkan kelas kepesertaan BPJS. Dia yakin, peristiwa ini hanya satu dari sekian banyak kejadian. Dia hanya berharap, pemerintah terus memperhatikan pelayanan kesehatan yang masih bermasalah di sejumlah aspek. Terlebih, soal kenaikan iuran yang mulai berlaku Januari 2020.
Kenaikan iuran itu memberatkan sebagian masyarakat. Anoy berkaca pada ibunya yang kini terdaftar sebagai peserta kelas III dan mulai mengeluhkan kenaikan iuran tersebut. "Saya dibayari kantor. Ibu saya yang kelas III, juga mulai bingung. Bagaimana mereka yang punya anak banyak dan enggak berpenghasilan tetap?" katanya.
Tak semua peserta BPJS Kesehatan mengeluh. Menggendong bayi berusia 5 bulan dan menggandeng bocah berusia 7 tahun, Daryuni (48) menenteng tas plastik berisi obat dalam bentuk cair dan tablet keluar dari Puskesmas Kebon Melati. "Dia (anaknya yang berusia 7 tahun) sudah beberapa hari meriang. Takutnya (sakit) demam berdarah," katanya.
Ibu enam anak itu bersyukur, putrinya berobat tanpa biaya. Kehadiran BPJS membuat dia tak takut lagi ke dokter kendati ekonomi keluarganya serba kekurangan. Bersama suami yang bekerja sebagai petugas Penanganan Prasarana dan Sarana Umum (PPSU) DKI Jakarta, Daryuni terus berusaha anggota keluarganya tak sampai sakit parah. "Dulu, kalau sakit agak lama, waswas. Takut banget berobat. Suami cuma tukang sapu. Biaya dari mana? " ujar peserta BPJS PBI (Penerima Bantuan Iuran) sejak 2015 itu.
Sembari menunggu angkutan umum menuju Pasar Tanah Abang tempat anak pertamanya bekerja sebagai penjaga toko, Daryuni mengaku tak pernah kesulitan menggunakan BPJS Kesehatan, mulai dari mengurus kepesertaan hingga berobat di faskes pertama.
Perempuan bertubuh kurus itu pun berharap, kalaupun anggota keluarganya sakit dan harus dirawat, statusnya sebagai PBI tak menjadi hambatan untuk mendapatkan akses kesehatan yang layak. "Sejauh ini (pengobatan hingga faskes 1) baik-baik aja. Maunya sehat terus, biar enggak usah (berobat) sampai rumah sakit," katanya.
Siti Aisyah (41) juga mengaku sama saat mendampingi ibunya Salma (61) berjuang melawan stroke. Warga Jati Bunder itu membawa ibunya untuk meminta rujukan dari Puskesmas Tanah Abang ke RSU Tanah Abang.
Sebelum ke Puskesmas Tanah Abang, ibunya sudah dua minggu dirawat di RS Tarakan. Setelah stroke mereda, ibunya diperbolehkan pulang dan melanjutkan perawatan di rumah. Namun, selang 4 hari, kondisi ibunya kembali naik dan disarankan untuk dirawat di rumah sakit terdekat. "Kemarin (oleh RS Tarakan) diarahin langsung ke RS terdekat. Kalau di (RS) Tarakan lagi, susah juga bawa orang sakit. Ribet bolak-baliknya. Makanya ke sini buat (minta) rujukan," ujar dia sambil menyuapi Salma yang duduk di kursi roda.
Menunggu taksi daring datang, Aisyah dan Salma menunggu di depan pintu Puskesmas Tanah Abang. Ibu rumah tangga ini mengaku tak mengalami kendala selama menjadi peserta PBI BPJS Kesehatan.
Selama mengurus Salma sakit, dia tidak pernah mengalami kejadian tak menyenangkan terkait pelayanan. Bahkan, pelayanan relatif cepat dan mudah sehingga ibunya dapat segera tertangani. "Alhamdulillah selalu gampang. Enggak pernah dibeda-bedain juga. Sakit ibu saya lumayan parah. BPJS membantu banget," katanya.
Pengalaman serupa dirasakan Vina (30). Hampir seminggu dia pulang-pergi Grogol-Cideng mendampingi suaminya yang tengah dirawat di RS Tarakan karena kencing manis dan cacar. Saat beristirahat di mushala rumah sakit, dia mengisahkan, tak mengalami kendala berarti selama menjadi peserta kelas III BPJS Kesehatan. "Sebelum suami saya dirawat, enggak pakai BPJS. Pas di IGD ketahuan sakitnya apa, disuruh pakai BPJS supaya biaya enggak mahal," ujar warga Grogol itu.
Perempuan asal Purwodadi, Jawa Tengah, itu menuturkan, pengalaman tak menyenangkan sempat terjadi. Dia harus antre panjang untuk mendaftarkan kepesertaan BPJS sang suami di kantor cabang Koja, Jakarta Utara. Mengambil nomor antrean pada pagi hari, dia baru mendapatkan giliran setelah jam makan siang.
Meski kelelahan, Vina tak menyerah. Dia lebih memikirkan kondisi sang suami yang tengah dirawat. Jika dihitung dan harus dibayarkan, tanpa kepesertaan BPJS pasti biayanya jauh lebih banyak. Dia pun tak keberatan iuran BPJS naik 100 persen. "Enggak apa-apa. (Kenaikan untuk kelas III) enggak sampai Rp 50 ribu juga. Hitung-hitung buat jaga-jaga," kata istri pekerja konveksi itu.
Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris mengakui, perbedaan pelayanan yang diterima pasien peserta BPJS, memang menjadi salah satu keluhan. Bersama pemangku kepentingan, BPJS berusaha terus meningkatkan kualitas pelayanan dengan menyoroti sejumlah hal seperti sistem antrean, sistem transparansi ketersediaan tempat tidur, dan rawat inap. "Kami berkomitmen kepada hal-hal yang tujuannya membuat pelayanan lebih mudah, lebih cepat, dan lebih baik, tanpa mengurangi mutu," ujar dia.