Dampak Krisis tidak Serius bagi PMI

Pekerja Migran Indonesia di Hong Kong merayakan HUT Kemerdekaan RI pada 2018 di Victoria Park. (DOK. INTERNATIONAL MIGRANTS ALLIANCE)
Krisis politik Hong Kong tak kunjung berakhir. Aksi massa berlangsung sejak Juni, dipicu rencana pemerintah memberlakukan regulasi untuk mengekstradisi tersangka kriminal ke China daratan. Tak jarang, unjuk rasa diwarnai bentrokan dengan aparat keamanan.
Sebenarnya, kebijakan tersebut telah dibatalkan. Namun, gelombang protes antipemerintah terus berlangsung hingga kini. Aspirasi massa meluas. Aktivis menuntut penyelidikan atas kebrutalan polisi dan amnesti (pengampunan) bagi semua orang yang telah ditangkap.
Yang lebih mendasar, kalangan muda di sana punya ketakutan, identitas Hong Kong yang unik bakal tergerus jika China dibiarkan memegang kendali penuh.
Krisis politik dikhawatirkan mengakibatkan resesi ekonomi. Kondisi tersebut bukan saja memengaruhi kehidupan warga Hong Kong, juga warga asing yang tinggal di sana. Termasuk Pekerja Migran Indonesia (PMI).
"Dampak krisis politik sebenarnya tidak serius seperti yang dibayangkan, tetapi memang mulai kami rasakan," kata Ketua International Migrants Alliance (IMA) Eni Lestari Andayani kepada HARIAN NASIONAL, November lalu.
Eni pernah menjadi asisten rumah tangga di Hong Kong. Kini, ia aktif melakukan pendampingan PMI. Ia juga pernah didaulat berbicara dalam pembukaan KTT PBB tentang Migran dan Pengungsi (UN Summit for Refugees and Migrants) ke-71 di New York, Amerika Serikat, pada 19 September 2016. Menurutnya, kondisi keamanan yang tak menentu berdampak kepada sedikitnya tiga hal.
"Sejumlah teman mengabarkan adanya larangan libur oleh majikan, pemutusan hubungan kerja (PHK), dan kesulitan tempat berlibur," ujar perempuan asal Kediri, Jawa Timur, tersebut.
Berdasarkan data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), PMI yang berada di Hong Kong sebanyak 174.800 orang dan di Makau 5.200 orang.
Kepala Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat (Humas) BNP2TKI Sukmo Yuwono mengatakan, pihaknya telah membahas situasi terakhir di Hong Kong bersama Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) dan Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker).
"Intinya pemerintah Indonesia akan ‘mengerem' proses penempatan PMI ke Hong Kong. Apabila ada kendala ekonomi para majikan sehingga hak-hak PMI tidak dapat dipenuhi, kami sarankan untuk selalu berkoordinasi atau melapor ke KJRI Hong Kong. KJRI Hong Kong siap membantu apabila hak-hak PMI, termasuk gaji, tidak dipenuhi majikan," tutur dia.
"Tenang, tetapi harus tetap waspada," kata Sukmo.
"Terlebih lagi, sejauh ini tidak ada sentimen antiwarga asing di Hong Kong," ujar dia.
Erwin mengakui, gejolak sosial menurunkan tingkat kenyamanan bepergian di Hong Kong. Sistem transportasi publik kerap menjadi sasaran demonstran, terutama kereta listrik dalam kota (KRL). Selama ini, KRL menjadi andalan warga lokal dan pendatang karena relatif murah dan efisien.
"Victoria Park, tempat berkumpul teman-teman PMI, masih bisa dimanfaatkan seperti sebelumnya. Permasalahan sekarang adalah disrupsi transportasi publik. Karena ada unjuk rasa atau terdampak perusakan oleh pengunjuk rasa yang anarkistis. Pada waktu-waktu tertentu, pergerakan teman-teman PMI terhambat. Itu dirasakan pula oleh seluruh warga Hong Kong," ungkapnya.
Menanggapi informasi terjadinya PHK, Erwin menyebut, pemberhentian kontrak kerja selalu ada, baik diminta oleh majikan maupun oleh PMI. "Namun, tidak ada lonjakan. Jumlah PMI yang mendaftarkan kontrak kerjanya ke KJRI dalam beberapa bulan terakhir tidak ada perubahan signifikan," katanya.
Terkait larangan libur oleh majikan, Erwin menegaskan, aturan waktu libur sangat jelas bagi PMI yang bekerja di ranah domestik. Majikan wajib memberikan satu hari libur dalam seminggu. "Kalau majikan tidak kasih (libur), PMI bisa mengadu ke otoritas Tenaga Kerja Hong Kong," ujar dia.
Informasi lokasi yang berpotensi menjadi ajang demo selalu diperbarui di akun media sosial KJRI Hong Kong dan aplikasi Safe Travel.
Reportase : Dionsius Bambang Arinto
Editor : Dionsius Bambang Arinto