Ikhtiar Memangkas Perizinan Obat

Warga membeli obat di salah satu toko obat Pasar Kebayoran Lama, Jakarta, Rabu (18/12). (HARIAN NASIONAL | AULIA RACHMAN )
Langkah Kemenkes mengambil alih perizinan obat dari BPOM harus membuahkan hasil signifikan.
Aspek perizinan menjadi faktor krusial yang bisa memicu harga obat menjadi mahal. Tak ayal, sektor perizinan ini menjadi titik yang dinilai perlu mendapatkan perhatian lebih dari pemerintah. Tujuannya agar harga obat bisa ditekan alias berbiaya murah.
Pemicu obat berharga mahal sendiri, menurut Menurut Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Akmal Taher, bisa disebabkan oleh waktu yang dihabiskan pihak produsen untuk menunggu terbitnya izin edar.
"Misalnya bulan Januari seharusnya sudah bisa dijual, tapi baru bisa dijual setahun berikutnya karena ada proses perizinan," kata Akmal kepada HARIAN NASIONAL, belum lama ini.
Artinya ada waktu kosong yang sebetulnya dalam pandangan produsen bisa menghasilkan uang.
"Semakin lama (izin edar didapat), semakin berpengaruh ke harga secara tidak langsung," kata Akmal memaparkan.
Di sisi lain, Akmal memandang, peredaran obat berharga mahal juga perlu direspon cermat oleh masyarakat. Pasalnya, tidak semua obat mahal. Indonesia, kata mantan Staf Khusus Menteri Kesehatan ini mengungkapkan, sudah memiliki obat generik yang harganya bisa dijangkau masyarakat. Dalam pandangan Akmal, obat mahal adalah obat yang sudah memiliki hak paten. Dengan kata lain, obat yang diproduksi dalam jumlah terbatas melalui riset yang tidak sebentar.
"Karena mereka (produsen) yang pegang hak paten (obat) jadi hanya mereka yang bisa buat obatnya. Sebelum itu pasti mereka harus riset bertahun-tahun. Biayanya banyak, tapi tak semuanya pasti berhasil. Ini masuk hitungan," kata Akmal memaparkan.
Namun, bagaimanapun ia mengakui pembenahan untuk mempercepat perizinan obat di Indonesia sepatutnya dilakukan. Oleh karena itu, langkah Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengambil alih perizinan obat dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dinilai boleh saja dilakukan. Sebab, mengacu regulasi, otoritas izin edar obat merupakan kewenangan Kemenkes.
"Memang ada di Kemenkes, kemudian didelegasikan ke BPOM. Dari segi peraturan, sebetulnya keduanya memungkinkan. Tapi kalau yang mendelegasi bilang mau mengurusnya sendiri ya boleh saja," ujar Akmal.
Akmal mengingatkan, langkah Kemenkes mengambil alih perizinan obat dari BPOM dikatakan tepat apabila membuahkan hasil signifikan. Artinya, perizinan obat cepat terealisasi dengan tetap memastikan aspek kualitas.
Sementara, Staf Ahli Bidang Hukum Kesehatan Kementerian Kesehatan Kuwat Sri Hudoyo mengungkapkan, proses pengambilalihan perizinan obat oleh Kemenkes dari BPOM akan masuk pembahasan skema omnibus law. Artinya, keputusan masih menunggu pembahasan di DPR.
Sekjen Kementerian Kesehatan Oscar Primadi mengatakan, langkah Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto mengambil alih perizinan obat dari BPOM mengacu aturan yang berlaku. Namun, kata Oscar, Kemenkes akan tetap berkolaborasi dengan BPOM menyangkut perizinan obat.
Bagi Kepala BPOM Penny Kusumastuti Lukito, BPOM sudah banyak melakukan percepatan perizinan obat dalam beberapa tahun terakhir. Penny pun seolah tak terpengaruh langkah Kemenkes mengambil alih perizinan obat dari BPOM. Dia tetap meyakini BPOM masih berwenang atas perizinan ini. BPOM, kata Penny melanjutkan, akan terus berinovasi terkait percepatan perizinan obat.
"Ada berbagai cara mempercepat perizinan, yaitu menyederhanakan langkah sertifikasi atau perizinan," kata Penny.
Percepatan perizinan tersebut juga akan menjadi satu aspek yang digencarkan pada 2020. Target ini diharapkan Penny tidak menemui kendala seiring akan dibahasnya Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengawasan Obat dan Makanan sebagai RUU prioritas di DPR.
"RUU Pengawasan Obat dan Makanan sudah bergulir, sudah masuk prolegnas tahun ini. Kami harapkan ini terus bergulir dan bisa jadi payung hukum BPOM menjadi institusi otoritas obat untuk pengendalian aspek mutu, kualitas, khasiat obat, dan makanan yang mandiri," ucapnya.
BPOM pada intinya, kata Penny menambahkan, institusi yang menjalankan fungsi teknis. Artinya BPOM membutuhkan dukungan pemangku kepentingan terkait. Ia mengharapkan, BPOM bisa mendapat tambahan dana pada 2020 guna menunjang gerak cepat kelembagaan. Anggaran Rp 2 triliun yang dikucurkan pada 2019 ini dinilai belum mencukupi untuk mendukung langkah dan kebijakan BPOM yang melibatkan banyak ahli serta masyarakat dalam rangka konsolidasi dan evaluasi.
Reportase : Ummamah N Uljannah
Editor : Aria Triyudha