Menaklukkan Hambatan Riset Kesehatan

Menristek dan Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Bambang Brodjonegoro (kanan) saat meninjau laboratorium vaksin, Bandung Kamis (12/12). (ANTARA | M AGUNG RAJASA)
Proses hilirisasi hasil riset menuju produksi masih sulit dilakukan.
Optimalisasi riset bidang kesehatan di antaranya pada sektor farmasi menjadi salah satu kunci menghasilkan obat berbiaya murah yang terjangkau oleh semua lapisan masyarakat. Presiden Joko Widodo pun telah berpesan melalui arahan November 2019 lalu agar kementerian dan lembaga terkait memperbesar skema insentif bagi riset-riset yang menghasilkan temuan obat maupun alat kesehatan (alkes) terbaru dengan harga kompetitif dibandingkan produk-produk impor. Hal ini diharapkan mampu mengurangi ketergantungan terhadap impor bahan baku obat yang selama ini memicu mahalnya harga obat.
Namun, optimalisasi tersebut terbilang tak mudah. Sejumlah hambatan dan tantangan perlu ditaklukkan. Terlebih, tiga tahun lalu, Presiden Joko Widodo juga telah menandatangani Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 6 Tahun 2016 tentang Percepatan Pengembangan Industri Farmasi dan Alat Kesehatan.
Sejauh ini, menurut Menteri Riset dan Teknologi /Kepala Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) Bambang Permadi Soemanti Brodjonegoro, riset sektor kesehatan telah masuk dalam Prioritas Riset Nasional 2020-2024. Meski begitu, riset yang ada belum bisa memenuhi kebutuhan masyarakat.
"Selain itu, belum memunculkan keinginan untuk menggunakan produk sendiri," kata Bambang kepada HARIAN NASIONAL, belum lama ini.
Bambang menjelaskan, kondisi itu menyebabkan ketergantungan terhadap impor belum bisa diredam. Seiring hal tersebut, terdapat pula persoalan krusial lainnya menyangkut proses hilirisasi hasil riset menuju produksi yang masih sulit dilakukan.
Percepatan produk obat-obatan mendapatkan izin edar pun harus menjadi perhatian instansi pemerintah terkait.
Dalam pandangan Deputi Penguatan Riset dan Pengembangan Kementerian Riset dan Teknologi Muhammad Dimyati, riset obat-obatan membutuhkan waktu lama, tetapi kondisi ini belum ditopang fasilitas dan ekosistem industri secara maksimal.
"Untuk mengejar ketertinggalan tidak hanya aspek sumber daya manusia yang harus ditingkatkan, tapi juga perangkatnya," katanya.
Dimyati menyatakan, anggaran riset di Kemenristek untuk tahun 2020 sebesar Rp 1,7 triliun.
"Jumlah tersebut belum termasuk tambahan dana abadi dan dari swasta," kata dia.
Lebih jauh, kata Dimyati, Prioritas Riset Nasional mengidentifikasi kegiatan riset "flagship" sebanyak 51 produk riset yang akan dikerjakan dalam kurun waktu 2020 hingga 2024.
Dimyati memaparkan, sektor kesehatan akan dimaksimalkan melalui suatu wadah khusus bagi peneliti yang memiliki kesamaan topik penelitian. Hal ini sekaligus merespon arahan Presiden Joko Widodo.
"(Misalkan) sesama peneliti vaksin atau insulin akan membentuk kelompok sendiri sesuai topiknya masing-masing dan akan kami jamin termasuk anggaran atau regulasi yang bersifat multi years," kata dia.
Adapun tema riset dalam kesehatan dan obat-obatan di antaranya, teknologi produk biofarmasetika, teknologi alat kesehatan, dan diagnostik, serta teknologi kemandirian bahan baku obat.
Sementara, Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Amin Soebandrio mengungkapkan, obat-obatan terdiri atas berbagai komponen. Selain bahan aktif, terdapat bahan campuran seperti penstabil. Bahan semacam ini rupanya belum bisa diproduksi sendiri oleh Indonesia. "Industri bahan campuran di Indonesia masih lemah karena juga harus memenuhi persyaratan Internasional," kata Amin.
Sedangkan, kata dia melanjutkan, pembentukan industri tersebut membutuhkan biaya yang tidak sedikit. "Dan belum bisa mengimbangi (kebutuhan) dibanding impor," kata dia.
Amin tak menyangkal, terdapat pemanfaatan obat-obatan berbasis alam keanekaragaman hayati di Indonesia. Namun, untuk komponen tunggal hanya mampu dihasilkan oleh industri terkemuka. "Karena harus diuji dulu kemanfaatannya, keamanannya dengan diujikan pada hewan dan manusia," kata dia.
Amin berpandangan, pembiayaan riset harus diprioritaskan apabila ingin mengembangkan industri hulu, Sebab, pembiayaan riset menjadi salah satu penyebab biaya obat tinggi. Pasar obat di Indonesia juga belum mengarah pada industri dalam negeri.
"Untuk mengembangkan industri itu tidak mudah karena kalau tidak laku juga rugi. Paling aman kembali pada impor."
Reportase : Ramadani WN
Editor : Aria Triyudha