Pencemar Tetap Sama

Sejumlah warga menggunakan masker dalam berkendara agar terhindar dari polusi, Jakarta, Rabu (18/12). (HARIAN NASIONAL | AULIA RACHMAN )
Upaya meningkatkan kualitas udara belum efektif.
Penggunaan bahan bakar fosil di Jakarta meningkat seiring bertambahnya pengguna kendaraan bermotor. Akibat polusi, secara tidak langsung berdampak pada kinerja dan produktivitas pekerja.
Ini harus ditekan. Pengamat transportasi dari Universitas Katolik Soegijapranata Semarang Djoko Setijowarno menyarankan agar Pemerintah Provinsi DKI Jakarta gencar melakukan upaya meningkat kualitas lingkungan.
Misalnya, penerapan teknologi alat pengatur dan isyarat lalu lintas (APILL) dan penerangan jalan umum (PJU) hemat energi. Selain itu, pemanfaatan bahan bakar alternatif, penyediaan fasilitas pejalan kaki, penyediaan jalur sepeda di wilayah perkotaan, dan sosialisasi transportasi ramah lingkungan.
Memasuki musim hujan, kualitas udara di Jakarta mulai membaik. Ini berdasarkan pemantauan di wilayah Kemayoran, Jakarta Pusat, salah satu kawasan yang diberlakukan pembatasan kendaraan dengan sistem.
Informasi tersebut berdasarkan catatan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) di Stasiun Pemantauan Kualitas Udara (SPKU) dengan konsentrasi PM2.5. Pada November tercatat PM2.5 berada di angka 47 mikrogram per meter kubik. Bulan-bulan sebelumnya, tercatat kualitas udara sekitar 50 mikrogram per meter kubik.
"Secara umum, kondisi konsentrasi PM2.5 di Kemayoran pada bulan Agustus hingga November mengalami penurunan konsentrasi dari bulan ke bulan pada tahun 2019," ujar Kepala Sub Bidang Informasi Pencemaran Udara BMKG Suradi di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Namun, menurut Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB), Ahmad Safrudin, kondisi itu belum menggembirakan. Membaiknya kualitas udara, kata dia, tidak berarti sumber pencemar yang ada di Jakarta telah menurun.
"Saat musim kemarau, intensitas pencemaran lebih pekat karena terakumulasi di langit. Dengan adanya hujan, polutan tersebut terbilas oleh hujan," ujarnya. "Sementara jumlah sumber pencemar tetap sama."
Dia berpendapat, Pemprov DKI Jakarta perlu menerapkan program yang lebih efektif tahun depan. Sebab, kata dia, hasil pemantauan kualitas udara tidak dimanfaatkan secara efektif dalam konteks pengendalian pencemaran udara. Terutama ketika kualitas udara dengan PM2.5 sedang berada di level yang tinggi, seharusnya pemerintah dapat memberikan peringatan atau pengumuman kepada masyarakat bahwa kualitas udara memburuk.
Sejumlah langkah yang dilakukan pemerintah dalam meningkatkan kualitas udara juga dinilai belum berjalan efektif. Dalam hal mendorong uji emisi yang lebih konkret, misalnya. "Uji emisi hanya sekadar seremonial, Problemnya tidak ada penerapan hukum terhadap uji emisi," ujar Puput-sapaan akrab Ahmad Safrudin.
Puput juga melihat penerapan sistem ganjil-genap di 25 ruas jalan tidak banyak membuahkan hasil dalam memperbaiki kualitas udara. Dia mencatat, dengan sistem itu perbaikan kualitas udara di Jakarta hanya 4,5 persen.
Hal lain yang dia nilai tidak cukup efektif, penertiban ganjil-genap dilakukan secara manual. Polisi memantau pengguna mobil secara langsung di jalan, padahal kapasitas mata manusia untuk memantau satu per satu mobil yang melewati ruas jalan tersebut terbatas.
"Kendaraan juga masih bisa melipir untuk mencari jalan lain. Bagi yang mampu, mereka beli mobil baru lagi yang platnya sesuai ganjil genap. Akhirnya sama saja kan," tutur Puput.
Reportase : Seruni Rara Jingga
Editor : Tegar Rizqon Alfian