Properti Murah Bakal Marak

Ilustrasi perumahan. (ANTARA | ALVIANSYAH )
JAKARTA (HN) -
Penjualan properti hanya tumbuh terbatas di bawah capaian pertumbuhan ekonomi nasional tahun lalu di kisaran 5,02 persen (yoy). Mayoritas calon pembeli properti terganggu momen politik pemilihan presiden serta penurunan daya beli masyarakat.
Sekretaris Jenderal Dewan Pengurus Pusat (DPP) Realestat Indonesia (REI) Amran Nukman mengatakan, daya beli masyarakat tertekan karena pertumbuhan penghasilan tidak sepadan dengan fenomena beragam kenaikan harga dan biaya.
Saat ini, kenaikan Upah Minimum Regional (UMR) sebesar 8 persen hanya di beberapa daerah, seperti Bekasi dan Karawang. Penghasilan tersebut habis untuk memenuhi kebutuhan membiayai sewa tempat tinggal dan makan sehari-hari.
"Masyarakat tidak sempat sekadar menabung atau mencicil membeli sebuah hunian," ujar Amran di Jakarta, Kamis (6/2).
Menurut dia, biaya tersebut belum termasuk pendidikan dan lainnya. Padahal dulu masyarakat masih bisa menyisihkan uang bulanan untuk cicilan membeli hunian.
Tahun ini REI optimistis pertumbuhan pembelian properti bergerak di kisaran 7-8 persen (yoy). Pengusaha properti akan menyiasati pertumbuhan pembelian lewat penyediaan properti di kisaran Rp 500 juta ke bawah.
Pembangunan properti di kawasan yang dekat dengan beragam fasilitas umum penunjang mobilitas masyarakat, seperti Moda Raya Terpadu (MRT) dan Kereta ringan (LRT) akan semakin marak. "Menyasar konsumen milenial sebagai pasar utama produk properti," katanya.
Ketua Umum Asosiasi Realestate Broker Indonesia (Arebi) Lukas Bong optimistis pertumbuhan penjualan di kisaran 9-10 persen (yoy) tahun ini. Sepanjang 2019, ujar dia, mayoritas investor properti tertekan situasi politik di dalam negeri.
Saat ini, ia menilai investor sudah mulai bersiap masuk industri properti dalam negeri. "Pilpres sudah selesai dan investor merasa tahun ini kabinet sudah bisa diterima masyarakat. Mungkin akan mulai kelihatan (pertumbuhan) dari pengembang (properti)," ujarnya.
Ia menyarankan pemerintah bisa mempertimbangkan penyesuaian kepemilikan hunian oleh asing dengan mensyaratkan pemberian Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang lebih tinggi dari WNI selain pelonggaran moneter. Berdasarkan PP Nomor 103/2015, warga negara asing (WNA) dapat memiliki tempat tinggal atau hunian dengan jenis tanah hak pakai.
Lukas mencontohkan, Singapura sukses membangun hunian subsidi bagi WNA lewat skema PPN hunian yang lebih tinggi. "Singapura bisa memberi izin huni sepanjang 99 tahun dan hanya bisa beli apartemen kisaran Rp 10 miliar bagi WNA. Seharusnya kita bisa terapkan itu," katanya.
Direktur Departemen Kebijakan Makroprudensial BI Widi Agustin mengatakan, pelonggaran rasio kredit terhadap harga (LTV) dan penurunan suku bunga acuan menjadi 5 persen dapat mendongkrak pertumbuhan sektor properti. Ia memproyeksikan sektor properti tumbuh membaik tahun ini ditopang perbaikan ekonomi dan penunjang di sisi moneter.
"(Bank Sentral) masih memiliki ruang memberikan kebijakan makroprudensial yang akomodatif."
Reportase : Khairul Kahfi
Editor : Didik Purwanto