Bias Informasi dan Peradaban Kita

Abustan (IST)
JAKARTA (HN) - Surplus kecemasan dan kehebohan itulah yang terjadi pada hari-hari yang kita jalani sekarang. Pangkal masalahnya, diawali ketika pasca diumumkan dua warga Negara Indonesia positif terinfeksi virus corona.
Kondisi tidak nyaman itu, terus mengelinding dan/atau berhembus, sehingga situasi jadi rumit/memprihatinkan. Apalagi, ketika melihat kondisi riil di lapangan banyak pihak yang melakukan tindakan tidak terpuji alias melakukan penimbunan masker yang kini banyak dibutuhkan oleh masyarakat (konsumen).
Bahkan, yang paling ironis dan sangat disayangkan, ketika data pribadi pasien COVID-19 tersebar luas di masyarakat. Padahal, sejatinya data itu bersifat pribadi yang tidak boleh disampaikan secara terbuka (bebas) karena bisa menimbulkan berbagai persepsi yang berimplikasi negatif terhadap keluarga pasien.
Prilaku yang tidak menyenangkan tersebut, dilakukan dengan penuh “tipu muslihat” dan hanya semata-mata mengejar keuntungan. Perbuatan pelaku ini bisa di kenakan/dijerat UU Nomor 5 Tahun 1999 Tentang antimonopoli atau Persaingan Usaha Tidak Sehat. Dan perbuatan yang membuka data pribadi bisa dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap UU Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Sebab, pengungkapan identitas penderita COVID-19 secara terekspost (terbuka) adalah pelanggaran hak-hak pribadi (privat). Perlu pula dipahami, informasi pribadi hanya bisa diungkap atas izin yang bersangkutan atau jika terkait pengisian jabatan publik.
Seperti yang kita ketahui, pemicu virus corona ini awalnya berasal dari Wuhan, wilayah daratan China. Namun, kini mempunyai daya jelajah yang tak mengenal sekat wilayah dan tak ada orang yang kebal terhadap penyakit ini. Penyebarannya sudah mencapai hampir 200 negara dalam tiga bulan, hingga kondisi sekarang telah memicu kepanikan dan ketakutan yang luar biasa di tengah masyarakat.
Akan tetapi, bahaya corona di Indonesia meluas menjadi “bias informasi” dan stigmatisasi pasien. Informasi menjadi “hiruk-pikuk” di media sosial, termasuk mengstigma pasien tak jujur menginformasikan sakitnya. Bahkan, ada sejumlah media mengunggah foto rumah pasien. Karena itulah, jangan sampai pasien COVID-19 semakin menderita akibat ulah desas-desus pemberitaan. Seperti kata Tedros: Musuh terbesar kita bukan virus ini sendiri, tapi ketakutan pada rumor.
Memang, penyebaran wabah virus corona baru atau COVID-19 sejak Desember 2019 sampai saat ini terus meluas. Penyebaran/pertumbuhan yang massif dan menakutkan itu telah mencekam atau meluluhlantahkan seluruh sendi-sendi kehidupan manusia di dunia.
Di Indonesia, Presiden Joko Widodo menyarankan setiap individu untuk menerapkan social distancing (jarak sosial). Tujuannya, sebagai upaya membatasi gerak gerik setiap orang. Terutama berkunjung ke tempat ramai dan/atau kontak langsung dengan orang lain. Kemudian memiliki legitimasi hukum dengan istilah PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) dengan merujuk kepada tiga keputusan pemerintah yang ditandatangani Presiden 31 Maret 2020.
Meski faktanya keputusan ini menuai berbagai kritikan terutama Perppu No. 1/2020.
Fakta lain, juga kita bisa mencermati situasi ini dari dimensi waktu. Pemberitaan WNI yang terpapar corona di Wuhan per 1 Februari 2020, dan diumumkannya dua wanita positif corona per 2 Maret 2020, serta pengumuman peraturan soal PSBB per 31 Maret 2020.
Berkaca pada tenggang waktu tersebut yang dianggap cukup longgar bagi pemerintah untuk melakukan ketegasan kebijakan (blokade) sehingga bisa menutup/membatasi penyebaran virus ini. Akibatnya, kebijakan pemerintah dianggap terlambat, dan tidak jelas. Dalam istilah Ketua Dewan Pengarah Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial Didiek J Rachbini; pemerintah sudah ketinggalan momentum untuk bertindak lebih cepat dalam mengatasi situasi yang ada.
Lebih dari itu, hal lain juga bisa disaksikan bahwa betapa virus COVID-19 ini telah melakukan pergeseran bahkan “menjungkirbalikkan” peradaban manusia. Hal itu bisa di lihat, sejumlah tata krama, nilai etika dan sopan santun pergaulan (berkomunikasi) dalam berinteraksi justru “tereliminasi” dari keperkasaan sang corona, sehingga manusia harus mengisolir diri, cuek, dan memutus tali silaturrahim. Inilah yang saya maksud dengan hadirnya pandemic COVID-19 telah “mengoyak” peradaban manusia.
Akhirnya, setelah cerita kolosal virus corona ini selesai atau menemukan titik akhir, maka akan menyisahkan pertanyaan kunci; Apakah segala kebiasaan atau dinamika baru yang dipraktekkan selama ini rezim pandemi COVID-19 akan ikut pula hilang (pupus) seiring dengan kepergiannya. Terutama peninggalannya yang mengacaukan nilai-nilai peradaban dan cakrawala perikemanusiaan yang seharusnya dijaga sebagai sesuatu yang amat tinggi nilainya. DR. H. Abustan, SH. MH, pengajar Ilmu Hukum di Universitas Islam Jakarta (UID)
Kondisi tidak nyaman itu, terus mengelinding dan/atau berhembus, sehingga situasi jadi rumit/memprihatinkan. Apalagi, ketika melihat kondisi riil di lapangan banyak pihak yang melakukan tindakan tidak terpuji alias melakukan penimbunan masker yang kini banyak dibutuhkan oleh masyarakat (konsumen).
Bahkan, yang paling ironis dan sangat disayangkan, ketika data pribadi pasien COVID-19 tersebar luas di masyarakat. Padahal, sejatinya data itu bersifat pribadi yang tidak boleh disampaikan secara terbuka (bebas) karena bisa menimbulkan berbagai persepsi yang berimplikasi negatif terhadap keluarga pasien.
Prilaku yang tidak menyenangkan tersebut, dilakukan dengan penuh “tipu muslihat” dan hanya semata-mata mengejar keuntungan. Perbuatan pelaku ini bisa di kenakan/dijerat UU Nomor 5 Tahun 1999 Tentang antimonopoli atau Persaingan Usaha Tidak Sehat. Dan perbuatan yang membuka data pribadi bisa dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap UU Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Sebab, pengungkapan identitas penderita COVID-19 secara terekspost (terbuka) adalah pelanggaran hak-hak pribadi (privat). Perlu pula dipahami, informasi pribadi hanya bisa diungkap atas izin yang bersangkutan atau jika terkait pengisian jabatan publik.
Seperti yang kita ketahui, pemicu virus corona ini awalnya berasal dari Wuhan, wilayah daratan China. Namun, kini mempunyai daya jelajah yang tak mengenal sekat wilayah dan tak ada orang yang kebal terhadap penyakit ini. Penyebarannya sudah mencapai hampir 200 negara dalam tiga bulan, hingga kondisi sekarang telah memicu kepanikan dan ketakutan yang luar biasa di tengah masyarakat.
Akan tetapi, bahaya corona di Indonesia meluas menjadi “bias informasi” dan stigmatisasi pasien. Informasi menjadi “hiruk-pikuk” di media sosial, termasuk mengstigma pasien tak jujur menginformasikan sakitnya. Bahkan, ada sejumlah media mengunggah foto rumah pasien. Karena itulah, jangan sampai pasien COVID-19 semakin menderita akibat ulah desas-desus pemberitaan. Seperti kata Tedros: Musuh terbesar kita bukan virus ini sendiri, tapi ketakutan pada rumor.
Memang, penyebaran wabah virus corona baru atau COVID-19 sejak Desember 2019 sampai saat ini terus meluas. Penyebaran/pertumbuhan yang massif dan menakutkan itu telah mencekam atau meluluhlantahkan seluruh sendi-sendi kehidupan manusia di dunia.
Di Indonesia, Presiden Joko Widodo menyarankan setiap individu untuk menerapkan social distancing (jarak sosial). Tujuannya, sebagai upaya membatasi gerak gerik setiap orang. Terutama berkunjung ke tempat ramai dan/atau kontak langsung dengan orang lain. Kemudian memiliki legitimasi hukum dengan istilah PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) dengan merujuk kepada tiga keputusan pemerintah yang ditandatangani Presiden 31 Maret 2020.
Meski faktanya keputusan ini menuai berbagai kritikan terutama Perppu No. 1/2020.
Fakta lain, juga kita bisa mencermati situasi ini dari dimensi waktu. Pemberitaan WNI yang terpapar corona di Wuhan per 1 Februari 2020, dan diumumkannya dua wanita positif corona per 2 Maret 2020, serta pengumuman peraturan soal PSBB per 31 Maret 2020.
Berkaca pada tenggang waktu tersebut yang dianggap cukup longgar bagi pemerintah untuk melakukan ketegasan kebijakan (blokade) sehingga bisa menutup/membatasi penyebaran virus ini. Akibatnya, kebijakan pemerintah dianggap terlambat, dan tidak jelas. Dalam istilah Ketua Dewan Pengarah Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial Didiek J Rachbini; pemerintah sudah ketinggalan momentum untuk bertindak lebih cepat dalam mengatasi situasi yang ada.
Lebih dari itu, hal lain juga bisa disaksikan bahwa betapa virus COVID-19 ini telah melakukan pergeseran bahkan “menjungkirbalikkan” peradaban manusia. Hal itu bisa di lihat, sejumlah tata krama, nilai etika dan sopan santun pergaulan (berkomunikasi) dalam berinteraksi justru “tereliminasi” dari keperkasaan sang corona, sehingga manusia harus mengisolir diri, cuek, dan memutus tali silaturrahim. Inilah yang saya maksud dengan hadirnya pandemic COVID-19 telah “mengoyak” peradaban manusia.
Akhirnya, setelah cerita kolosal virus corona ini selesai atau menemukan titik akhir, maka akan menyisahkan pertanyaan kunci; Apakah segala kebiasaan atau dinamika baru yang dipraktekkan selama ini rezim pandemi COVID-19 akan ikut pula hilang (pupus) seiring dengan kepergiannya. Terutama peninggalannya yang mengacaukan nilai-nilai peradaban dan cakrawala perikemanusiaan yang seharusnya dijaga sebagai sesuatu yang amat tinggi nilainya. DR. H. Abustan, SH. MH, pengajar Ilmu Hukum di Universitas Islam Jakarta (UID)
Reportase : Mulya Achdami
Editor : Mulya Achdami