Siaga Kemungkinan Terburuk

JAKARTA (HN) - Ketidakpastian berakhirnya pandemi virus corona baru (COVID-19) diprediksi akan menghantam industri olahraga di Indonesia. Operator kompetisi serta klub diminta waspada dengan segala kemungkinan terburuk, terutama menyangkut masalah finansial.
Pengamat olahraga Djoko Pekik Irianto meminta industri olahraga mulai menyiapkan berbagai skenario untuk menjaga eksistensi. Syukur-syukur, katanya, jika mereka bisa memanfaatkan peluang di tengah pandemi ini.
"Pelaku industri olahraga harus siap dengan situasi paling buruk. Mereka harus tetap survive, berinovasi dan memanfaatkan peluang," kata Djoko Pekik kepada HARIAN NASIONAL, Rabu (22/4).
Efektif per pertengahan Maret, semua kompetisi olahraga di Indonesia ditangguhkan, seperti Liga 1, Liga 2, dan Indonesian Basketball League (IBL). Mereka baru menentukan kelanjutan kompetisi pada pertengahan tahun, akhir Mei-Juli.
Ada pula yang memilih menghentikan kompetisi, seperti Proliga. Liga bola voli kasta tertinggi di Tanah Air ini memutuskan tak menggelar putaran final four.
Djoko Pekik menilai, operator kompetisi yang tengah hiatus memiliki tantangan tersendiri. Sebab, posisi mereka harus menimbang dampak kerugian klub, pemain, hingga para tenaga pendukung nonpertandingan.
"Bahkan jika pandemi ini usai, setidaknya butuh waktu enam bulan untuk menaikkan lagi gelora industri olahraga. Suka tidak suka, fokus masyarakat saat ini tertuju stabilitas ekonomi," kata Djoko Pekik.
"Justru saya memprediksi ini menjadi kesempatan e-Sports untuk menaikkan pamornya. Asalkan mereka bisa konsisten melakukan produksi model latihan berbasis aplikasi."
Terpisah, Profesor Ilmu Keolahragaan Institut Teknologi Bandung Tommy Apriantono juga mengatakan pandemi COVID-19 membuat semua bisnis, termasuk olahraga menjadi serbasulit. Apalagi, sepak bola olahraga yang digandrungi mayoritas masyarakat Tanah Air.
PSSI bersama operator kompetisi PT Liga Indonesia Baru (LIB), kata Tommy, tidak mungkin memaksakan liga bergulir dengan penonton. Sebab, bisa membuat penyebaran COVID-19 semakin meluas. Jika digelar tanpa penonton, klub pun berpotensi mengalami kerugian besar.
Opsi terakhir memang ditolak semua klub. Namun, kata Tommy, langkah itu menjadi pilihan terbaik dibanding liga dihentikan permanen.
"Saya bahkan tidak bisa memprediksi angka kerugiannya karena bergantung dari klub dan operator. Namun, perlu dipikir jika tanpa penonton klub bisa tetap mendapat pemasukan sponsor dan hak siar karena masih ditonton di televisi," ujar Tommy.
Sebelumnya, Ketua PSSI Mochamad Iriawan mengaku belum terpikir untuk mengikuti jejak liga papan atas Eropa, yang ingin melanjutkan kompetisi tanpa penonton. Ia khawatir jika suporter Indonesia tetap datang ke lapangan.
"Kondisi pandemi ini membuat daya beli ekonomi menurun. Masyarakat pasti memilih prioritas mengeluarkan uang, seperti tidak mau membeli tiket pertandingan meskipun liga digelar dengan penonton. Tidak ada penonton pun belum tentu orang datang," kata Tommy.
Yang jelas, kata Tommy, prosedur ketat harus dilakukan jika liga bergulir tanpa penonton. Hal ini juga bisa menyelamatkan klub dari pelanggaran kontrak bersama pemain dan sponsor.
"Kalau di Eropa, mereka berencana memulai kompetisi Mei atau Juni. Namun, itu akan didahului dengan uji coba latihan dengan prosedur kesehatan dan keselamatan pemain dan tim sangat ketat," terang Tommy.
Sayangnya, pertimbangan Tommy ditolak mayoritas klub Liga 1. Persiraja Banda Aceh misalnya yang mengaku bisa kehilangan Rp 1 miliar per laga kandang jika kompetisi bergulir tanpa penonton.
"Makanya opsi liga dilanjutkan tanpa penonton kami tolak. Meski pemasukan sponsor lancar, tetapi siapa yang mau bayar gaji pemain? Kecuali LIB mau naikan subsidi. Berbicara subsidi, termin kedua saja belum dibayar operator hingga saat ini," kata Sekretaris Umum Persiraja Banda Aceh Rahmat Djailani.
Klub-klub Liga 1 lainnya juga menolak, tetapi mereka tak sesigap Persiraja. Bahkan, di antara mereka ada yang takut mengalkulasi kerugian jika liga sampai terhenti permanen ataupun bergulir tanpa penonton.
"Jika opsi tanpa penonton terjadi, klub akan hancur. Buat Persiraja bahkan bisa menunggak gaji pemain karena pemasukan dari sponsor dan penjualan jersey tak seberapa yang kami dapatkan. Jersey kami hanya Rp 250 ribu, beda dengan klub lain yang sampai Rp 800 ribu," kata Rahmat.
Belum Berani Kalkulasi Rugi
"Sementara kami belum memikirkan berapa kerugian jika kompetisi dihentikan permanen. Termasuk opsi tanpa penonton. Yang pasti sudah pasti rugi,"
Sekretaris Umum Persebaya - Ram Surahman
"Yang jelas beban kami bisa mencapai 70-80 persen untuk gaji pemain dan operasional. Itu harus ditanggung meski liga bergulir tanpa penonton,"
Manajer Persita - I Nyoman Suryanthara
"Tidak tepat menghitung kerugian akibat bencana. Tidak ada manfaatnya!"
Direktur Madura United - Haruna Soemitro
"Kami belum sampai ke hitungan kerugian. Kami tunggu putusan PSSI dulu,"
CEO Bali United - Yabes Tanuri
"Kami belum menghitung secara rinci, yang pasti kerugiannya cukup signifikan. Di bisnis biasa seperti ini. Semoga tahun depan Proliga bisa bergulir seperti biasanya,"
Direktur Proliga Hanny S Surkatty
"Kami belum hitung kerugian, tetapi kami harus siap dengan skenario apa pun, termasuk yang terburuk. Jika skema ideal tak bisa berjalan, kami akan lakukan efisiensi,"
Direktur IBL Junas Miradiarsyah
"Total kerugian belum dihitung, tetapi 90 persen sponsor sudah membatalkan kontrak. Operational cost kami cukup besar. Ini tentu kerugian,"
Pemilik Louvre Surabaya - Erick Herlangga.