Olimpiade Bergantung Vaksin

TOKYO (HN) - Nasib Olimpiade 2020 Tokyo bergantung kepada penemuan vaksin efektif penangkal virus corona baru (COVID-19). Jika penyelenggaraan edisi XXXII ini tak bisa digelar 2021, tuan rumah menolak melakukan penjadwalan ulang untuk kali kedua.
Olimpiade Tokyo sejatinya berlangsung 24 Juli-9 Agustus 2020, tetapi ditunda hingga 23 Juli-8 Agustus 2021 karena pandemi COVID-19. Apabila situasi ini tak kunjung membaik, Panitia Olimpiade Tokyo (TOGOC) mengaku angkat tangan.
"Tidak (ada penundaan hingga 2022)," kata Presiden TOGOC Yoshiro Mori kepada Nikkan Sport dikutip AFP, Selasa (28/4). "Untuk kasus itu (jika pandemi COVID-19 belum bisa teratasi), Olimpiade dibatalkan."
Sejak kali pertama Olimpiade digelar pada 1986 belum pernah ada pembatalan karena pandemi. Pesta olahraga bergengsi empat tahunan ini sudah tiga kali ditangguhkan dengan alasan perang.
Tepatnya saat Perang Dunia I yang mengharuskan Olimpiade 1961 Berlin batal bergulir. Pun Perang Dunia II pada medio 1939-1945 yang membuat Olimpiade 1940 Tokyo dan Olimpiade 1944 London gagal terlaksana.
"Sekarang kita bertarung dengan musuh yang tak terlihat," kata Mori. "Jika kita bisa mengatasi virus ini dengan sukses, kami akan menggelar Olimpiade dengan damai pada musim panas tahun depan. Semuanya pasti bertaruh untuk itu."
Sebelumnya, TOGOC dan pemerintah Jepang memiliki misi ganda di Olimpiade Tokyo. Multievent empat tahunan paling bergengsi di dunia ini tak sekadar sebagai ajang rivalitas atlet semata, tetapi juga ingin dijadikan sebagai pesta kemenangan dunia atas virus corona baru.
Pertanyaan lain muncul apakah itu bisa teralisasi dalam satu tahun? Apalagi banyak ahli kesehatan dan virus di Jepang meragukan rencana itu.
Kepala Asosiasi Medis Jepang Yoshitake Yokokura pesimistis Olimpiade digelar. Menurutnya Olimpiade Tokyo sangat sulit terlaksana tahun depan jika vaksin COVID-19 belum ditemukan.
"Saya tidak mengatakan seharusnya mereka tidak menggelar Olimpiade, tetapi rasanya akan sangat sulit," kata Yokokura di hadapan wartawan.
Pekan lalu, ahli medis Jepang dari Universitas Kobe Kentaro Iwata juga mengkritisi kebijakan Negeri Sakura dalam mengatasi COVID-19. Bahkan ia mengaku sangat pesimistis Olimpiade digelar 2021.
Kasus COVID-19 di Jepang mulai menurun dalam beberapa hari terakhir. Dinukil NHK, hanya ada 39 kasus pada Senin (27/4). Angka ini menjadi angka terendah sejak 30 Maret. Total, Jepang tercatat memiliki 13.614 kasus COVID-19, termasuk 394 kematian.
Kasus kematian akibat COVID-19 di Jepang juga sebenarnya kecil dibanding negara lain, tetapi para pengamat melihat Negeri Sakura kurang melakukan perhatian cukup di rumah sakit. Para ahli kesehatan juga memperingatkan pemerintah tak terburu-buru mencabut status darurat yang dibuat Perdana Menteri Shinzo Abe hingga 6 Mei nanti.
"Terlalu dini ahli medis mengatakan kemungkinan-kemungkinan (terburuk) itu," kata Juru Bicara TOGOC Masa Takaya.
Terlepas dari perdebatan itu, tantangan Jepang sebagai tuan rumah Olimpiade jelas sangat sulit. Bukan hanya mengatasi ketidakpastian situasi ke depan, mereka juga harus menyiapkan dana ekstra akibat penundaan Olimpiade. Hingga saat ini, Jepang sudah menghabiskan US$ 13 juta (Rp 200,4 miliar) untuk persiapan Olimpiade.
TOGOC sebenarnya memiliki rencana untuk menggabungkan penutupan Olimpiade Tokyo dengan pembukaan Paralimpiade Tokyo. Hal ini demi efisiensi biaya.
Namun, hingga saat ini Komite Olimpiade Internasional (IOC) dan Komite Paralimpiade Internasional (IPC) selaku pemilik hak multievent tersebut belum memberi lampu hijau. Jadwal baru Paralimpiade Tokyo diagendakan 24 Agustus-5 September.
"Apabila diizinkan tentu akan memangkas biaya dan pesan besar kemenangan melawan krisis global, tetapi itu tidak mudah," kata Mori.