Sinar Pembunuh Virus

Presiden Donald Trump pernah melontarkan ide untuk menggunakan sinar ultraviolet sebagai salah satu metode melawan COVID-19. Bagi peneliti di Columbia University, itu bukan hal baru. Juga keliru.
Bertahun-tahun lalu, percobaan sudah dilakukan. Lampu ultraviolet tipe baru diyakini bisa mematikan virus-virus berbahaya. Kelak, metode penyinaran diharapkan membantu upaya sterilisasi stasiun, pesawat, atau ruang kelas.
Sinar yang dimaksud adalah ultraviolet-C (UVC). Bagi manusia, sinar ini berbahaya. Paparan langsung bisa mengakibatkan kanker kulit dan gangguan kesehatan mata. Meskipun demikian, lampu UVC sudah lama dimanfaatkan untuk mematikan bakteri, virus, dan jamur di rumah sakit dan industri pengolahan makanan.
Seiring pandemi virus corona, ketika seluruh umat manusia takut bersentuhan dengan sembarang benda (semisal uang kertas), teknologi UVC menghadirkan satu solusi.
Sistem kereta bawah tanah New York, meniru China, berencana menggunakan lampu UVC untuk membersihkan gerbong bagian dalam. Penyinaran tentu dilakukan waktu malam, ketika kereta terparkir tanpa penumpang.
Penelitian lebih maju dikerjakan Pusat untuk Riset Radiologis dari Columbia University (CRR). Mereka bereksperimen dengan "far-UVC"-spektrum sinar UVC yang lebih luas. "Sinar ini memiliki panjang gelombang 222 nanometer. Aman bagi manusia, tapi mematikan untuk virus," kata Direktur CRR David Brenner kepada AFP, Minggu (10/5).
Pada frekuensi tersebut, sinar tidak dapat menembus permukaan kulit atau mata. Lain kata, sinar "far-UVC" bisa disorotkan ke arah kerumunan atau ruang publik yang dianggap berisiko tinggi terkontaminasi. Ini akan sangat membantu membersihkan ruangan dari virus.
Selama vaksin belum ditemukan, ikhtiar semacam itu sangat membantu.
Ide Trump, akhir April silam, sebenarnya kurang tepat. Ia melontarkan kalimat membingungkan: sinar ultraviolet disorotkan langsung ke manusia untuk mematikan virus corona baru yang menjangkitinya. Ia tampaknya terinspirasi riset pemerintah federal tentang efek sinar matahari terhadap virus.
Masalahnya, bumi hanya menerima pancaran UVA (95 persen) dan UVB dari matahari, sementara UVC terhalang atmosfer. UVA juga berbahaya bagi kulit. UVB berguna dalam pembentukan vitamin D bagi makhluk vertebrata, termasuk manusia.
Pada 2013, tim Columbia mulai meneliti efektivitas "far-UVC" untuk melawan bakteri yang resistan terhadap obat. Tahap berikutnya, mereka memeriksa peluang sinar untuk membasmi virus, termasuk virus flu. Belum lama ini, riset dibelokkan untuk kepentingan melawan pandemi COVID-19.
"Eksperimen dilakukan sejak tiga atau empat pekan lalu," terang Brenner. "Kami mendapatkan hasil awal bahwa penyinaran dengan UVC, dalam tempo beberapa menit, sanggup mematikan virus di permukaan sebuah benda."
Tim tersebut berencana menguji kemampuan sinar untuk langsung mematikan virus di udara, ketika orang terinfeksi batuk atau bersin. Secara paralel, tes dilakukan untuk memastikan sinar ini tidak berbahaya bagi manusia.
Selama 40 pekan terakhir, laboratorium Columbia University menyorotkan sinar "far-UVC" kepada seekor tikus. Delapan jam dalam sehari, lima hari dalam sepekan. Intensitasnya 20 kali lebih tinggi dibandingkan prakiraan level aman bagi manusia.
Tim kemudian memeriksa kondisi kulit dan mata tikus percobaan. "Kami tidak menemukan efek samping berbahaya. Tidak ada sama sekali. Tikus itu segar bugar," kata Brenner, seraya menambahkan hasil awal penelitian sudah dipublikasikan via Jurnal Nature.
Eksperimen tersebut tetap berlanjut hingga 20 pekan mendatang.
Temuan itu belum dapat divalidasi oleh komunitas sains sampai tahap-tahap berikutnya dilalui. Termasuk uji klinis terhadap manusia. Namun, tren pelonggaran lockdown untuk menggerakkan perekonomian memaksa produksi lampu UVC dipercepat.
"Kita membutuhkan sinar ini untuk mengatasi situasi seperti di ruang perkantoran, restoran, kabin pesawat, dan bahkan rumah sakit," papar Brenner.
Industri berlian memanfaatkan lampu UVC selama dua atau tiga tahun terakhir. Sinar ini bisa membedakan berlian asli dan palsu. Perusahaan yang memproduksi lampu UVC mengatakan potensi pemasaran bisa sangat luas.
"Kami sudah berpikir sejak lama bahwa teknologi ini sungguh luar biasa," kata John Yerger, CEO Eden Park Illumination, produsen lampu UVC di Champaign, Illinois.
Badan Makanan dan Obat AS (FDA) mengendurkan regulasi dan izin produksi barang atau agen yang berguna untuk kepentingan disinfektasi. Pabrik atau produsen justru didorong mencari solusi kreatif lainnya.
"Pasti ada ribuan pesanan untuk lampu UVC," cetus Yerger. "Pertanyaannya, apakah mungkin ada jutaan pesanan?"
Ushio, manufaktur asal Jepang yang juga merambah pasar AS, sepakat bulat. "Kami melihat minat pasar yang sangat besar untuk penggunaan lampu di pesawat, kapal pesiar, restoran, bioskop, dan sekolah," kata Shinji Kameda, direktur operasional perusahaan tersebut.
Lampu 222-nanometer dijual antara US$ 500 hingga US$ 800 (sekitar Rp 7,5 juta hingga Rp 12 juta). Sebagian rumah sakit di Jepang sudah menggunakannya. Produksi lampu akan digenjot mulai Oktober, terang Kameda.
Sementara itu, Brenner mengaku sangat menyesal.
"Andaikata proyek ‘far-UVC' dimulai lebih cepat, kita mungkin bisa mencegah krisis COVID-19. Tidak sepenuhnya, tapi pandemi sebesar ini bisa dihindari," tegasnya.