Ketika Trump dan COVID-19 Bertarung...

Presiden AS Donald Trump menjelaskan langkah-langkah pemerintah dalam mengatasi dampak ekonomi akibat COVID-19 di Gedung Putih, Rabu (18/3). ( AFP | BRENDAN SMIALOWSKI )
Rivalitas Presiden Donald Trump dengan Joe Biden untuk Pemilu Presiden Amerika Serikat, November mendatang, sudah sengit sejak awal.
"Skala 1-10, nilai saya 10," katanya menyoal tingkat performa pemerintah AS dalam menangani pandemi.
Menurut Lichtman, itu taktik kuno yang cukup jitu. "Jangan ganggu lawan yang sedang membuat kesalahan," ujarnya. Biden tak perlu mengangkat telunjuk, semua konstituen sudah punya penilaian.
Trump, dengan kepercayaan diri yang tinggi, selalu mengejek Biden sebagai "Joe yang pengantuk". Joe yang tidak berbuat apa-apa kecuali "tertidur" dan melewatkan aktivitas dunia, seperti disenandungkan grup band lawas Herman's Hermits.
Ia bahkan meremehkan mantan Wakil Presiden era Barack Obama itu. "Saya tidak bersaing dengan sleepy Joe Biden. Ia bukan faktor utama," kata Trump via Twitter, Sabtu (16/5). "Yang akan jadi lawan terbesar saya adalah para radikal kiri, Demokrat yang tidak berguna, dan ‘barisan lemah' media berita hoaks yang keji dan gila."
Biden, sejauh ini, menanggapi dengan dingin. Sejumlah kalangan menduga, ia menerapkan strategi defensif yang melibatkan masyarakat sebagai penilai utama.
AS sedang menghadapi guncangan ekonomi dan pandemi COVID-19. Pengangguran baru mencapai 20 juta orang. Kasus infeksi melebihi 1,5 juta orang dan lebih dari 90 ribu orang meninggal di negara ini. Trump, yang empat bulan lalu masih berada di atas angin, kini tersudut dalam peperangan melawan musuh tanpa wujud. Virus corona baru. Krisis global terbesar dalam abad ini.
Kelak, segala tindakannya akan dinilai. Apakah ia dianggap berhasil menangani pandemi-atau gagal-akan terjawab dalam pemilu.
"Kami benar-benar tidak bisa menduga seperti apa hasil pemilu nanti," kata Profesor Christopher Arterton, pakar ilmu politik dari George Washington University.
Empat bulan lalu, Trump (73) membanggakan pencapaian gagah di sektor ekonomi. Tingkat pengangguran rendah dan pertumbuhan PDB cukup solid. Ia berpeluang besar memenangi periode keduanya.
Sikap nasionalisme agresif di panggung internasional yang ditempuh Trump menjadi celah bagi Biden untuk menyerang balik. Ia bersumpah mengakhiri segala skandal dan perpecahan yang ditimbulkan Trump, sekaligus memulihkan kembali "jiwa sejati Amerika".
Biden (77) memimpin dalam sejumlah jajak pendapat. Namun, Trump tetap diyakini menang pada 3 November. Petahana terakhir yang kalah dalam pemilu periode kedua adalah George Bush pada 1992. Berdasar fakta sejarah, presiden yang menawarkan capaian ekonomi kuat hampir tak tergoyahkan.
Kemudian virus menyerang. Segala acara kampanye massal yang menjadi favorit Trump berantakan. Tak hanya itu. Trump batal mendapatkan pujian atas keberhasilan ekonomi, tapi akan dinilai publik terkait kebijakannya menangani krisis kesehatan.
"Pemilu nanti bagaikan referendum untuk Presiden Trump," tegas Allan Lichtman, ahli sejarah presidensi AS dari American University. Ia terkenal memiliki prediksi akurat dalam kontes-kontes sebelumnya.
Krisis COVID-19 memberikan ujian besar kepada setiap kepemimpinan suatu negara. Bagi AS, taruhannya sebesar langkah pemerintah menghadapi Tragedi 11 September atau resesi 2008. Trump mengklaim ia lulus dengan nilai sempurna.
Itu pendapatnya sendiri. Banyak masyarakat tidak suka dengan gaya politiknya yang cenderung memecah belah, empatinya yang kurang, dan lambannya respons negara dalam melakukan tes atau merawat pasien.
Menurut jajak pendapat CBS terkini, 57 persen warga Amerika menuding Trump "tak becus bekerja". Maret lalu, ketidakpuasan publik hanya di angka 47 persen. Lain kata, ada sesuatu yang salah tengah terjadi dan tak disadari sang Presiden AS.
Biden, yang terdampak lockdown seperti warga pada umumnya, menahan diri untuk tidak agresif mengomentari perilaku Trump. "Semua tindakan Trump lemah, seperti halnya kepemimpinannya. Namun, nyawa rakyat harus jadi prioritas," kata Michael Gwin, juru bicara Biden.
Reportase : AFP | Dani Wicaksono
Editor : Dani Wicaksono