Benang Kusut Kebijakan Pandemi

Pekerja Perusahaan Otobus (PO) tidur di depan loket yang sepi penumpang di Terminal Kalideres, Jakarta, Senin (11/5). (ANTARA | RIVAN AWAL LINGGA)
Komunikasi antara pemerintah pusat dan daerah perlu diperbaiki demi meminimalisasi dampak pandemi.
Kuat hati Ayu Sarah untuk kembali ke kampung halamannya di Blitar, Jawa Timur. Di Jakarta, perempuan 25 tahun ini tinggal sendiri. Namun, pandemi virus corona baru (COVID-19) membuatnya menunda rencana mudik.
Awal Mei lalu, harapan Ayu menemui keluarganya di Blitar kembali muncul. Ini gegara Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengizinkan sektor transportasi bergerak lagi. Namun, ada syarat yang harus dipenuhi.
Harapan Ayu lantas menciut. Sejumlah syarat tadi tak bisa dipenuhi. Angan-angan berlebaran di kampung akhirnya pupus. Pekerja swasta ini justru kecewa dengan kebijakan yang dibuat pemerintah. Ayu menilai kebijakannya belum konsisten. "Kebijakannya terasa seperti coba-coba," keluh Ayu saat berbincang dengan HARIAN NASIONAL, Kamis (13/4).
Aina Isma senasib. Karyawan swasta di Ibu Kota ini sebenarnya ingin pulang ke Kota Jayapura, Papua. Namun, rencana perempuan 27 tahun itu terganjal keputusan Pemerintah Provinsi Papua yang belum mengoperasikan Bandara Sentani di Jayapura. Harusnya, kata Aina, kebijakan yang dibuat pemerintah pusat selaras dengan daerah.
Imelda Christiani lain lagi. Pekerja swasta di Bandung, Jawa Barat, ini mengeluhkan penyaluran bantuan sosial. Informasi yang ia dapat, bansos seharusnya dibagikan sedari April. Namun, memasuki Mei, bantuan belum dirasakan, termasuk tetangga sekitar rumahnya "Bansos di daerah saya belum ada yang turun. RT kami baru mendata saja, belum ada yang dibagikan," kata perempuan 27 tahun itu, 13 Mei lalu. Imel tinggal di Cigereleng, Kecamatan Regol, Bandung.
Keluhan-keluhan masyarakat seperti yang disuarakan Imel, Ayu, dan Aina juga dirangkum Ombudsman RI. Sedari 29 April hingga 12 Mei, Ombudsman menerima 387 aduan masyarakat. Mayoritas mengeluhkan penyaluran bansos yang belum merata.
Keluhan lain, jelas anggota Ombudsman RI Alamsyah Saragih, terkait belum konsistennya kebijakan yang dibuat pemerintah pusat dan daerah. Kondisi ini membuat masyarakat bingung.
Di daerah, terutama wilayah yang menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), pengetatan terus digencarkan. Namun, di saat bersamaan, pemerintah pusat mengeluarkan kebijakan pelonggaran.
Ketua Ombudsman RI Amzulian Rifai mengingatkan, tidak konsistennya pemerintah mengeluarkan kebijakan, termasuk informasi publik, bisa mengarah pada tindakan maladministrasi. Amzulian menyarankan informasi yang diberikan dibuat satu pintu, melalui Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19. Selebihnya, kementerian, lembaga, juga instansi lain menginduk ke gugus tugas.
Bupati Bogor Ade Munawaroh Yasin mengakui ada kontradiksi antara peraturan yang dibuat pemerintah pusat dan daerah. Perubahan regulasi, misalnya, terjadi terus-menerus. Ini membingungkan daerah.
Soal mudik, misalnya, Ade memilih mengikuti instruksi Presiden Joko Widodo dan Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19. "Jika (PSBB) kami longgarkan, ini justru menjadi celah virus masuk ke wilayah kami," keluh Ade.
Gubernur Sumatera Barat Irwan Prayitno juga punya catatan. Ia mengklaim data penerima bansos dari Kementerian Sosial kerap berubah. Semula, kata Irwan, jumlahnya 250 ribu kepala keluarga. Belakangan, totalnya menjadi 234 ribu. Ini belum berakhir. Data terakhir yang diperbarui mencapai 206 ribu.
Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Donny Gahral Adian tak sepakat dengan anggapan yang menilai kebijakan pemerintah pusat tak konsisten. Terkait izin masyarakat di bawah 45 tahun untuk bekerja di tengah pandemi, misalnya, telah melalui kajian matang.
Kebijakan tersebut, kata Donny, "hanya berlaku untuk 11 sektor yang dikecualikan. (Kebijakan) tidak ada yang tak konsisten." Soal relaksasi transportasi, kebijakan ini juga bersyarat, seperti hanya untuk tenaga medis dan mereka yang memiliki kepentingan mendesak.
Donny memastikan kebijakan yang dibuat tetap sesuai dengan penerapan PSBB, pun protokol kesehatan. Namun, ia melanjutkan, pemerintah daerah punya tanggung jawab dalam urusan implementasi di lapangan. Meski begitu, Donny sepakat jika koordinasi dalam penanganan pandemi COVID-19 harus diperbaiki.
Hasil survei KedaiKOPI, mayoritas responden menyatakan pemerintah daerah lebih sigap menangani pandemi COVID-19. Riset ini menempatkan 405 responden di Jabotabek, dilakukan 14 hingga 19 April.
Dari satu sampai 10, skor penilaian yang dibuat, kata Direktur Eksekutif KedaiKOPI Kunto Wibowo, nilai untuk pemerintah daerah mencapai 7,73. Pemerintah pusat tak jauh berbeda, 7,37.
Pakar komunikasi politik dari Universitas Airlangga Suko Widodo menjelaskan, masalah utama dari pelaksanaan kebijakan adalah komunikasi. Harus ada pesan jelas yang disampaikan, termasuk alasan yang dapat diterima masyarakat.
"Terkadang, kenapa kebijakan tak diterapkan masyarakat atau langsung diprotes (karena) apa yang dimaksudkan pemerintah pusat belum dimengerti," kata Suko.
Pakar Otonomi Daerah Djohermansyah Djohan mengingatkan, kebijakan yang dibuat tak boleh berjalan sendiri-sendiri. Dalam penanganan pandemi COVID-19, otoritas tertinggi merupakan pemerintah pusat. Ini tak hanya terkait regulasi dan penanganan bencana, termasuk penyediaan kebutuhan dasar untuk masyarakat terdampak.
Sesuai Undang-Undang Pemerintahan Daerah, jelas Djohermansyah, salah satu fungsi kepala daerah adalah perpanjangan tangan presiden. Dalam penanganan pandemi, fungsi ini harus dimaksimalkan. Kepala daerah, ia melanjutkan, "bisa berkomunikasi dengan presiden untuk menyampaikan keluhan, aduan, juga kebijakan dan langkah yang akan diambil."
Reportase : Esti Tri Pusparini | Aini Tartinia | Sherlya Puspita Sari
Editor : Ahmad Reza S