ARTS
Gambar 'Jelek' Karya Jempolan

Kartun hadir di beragam medium, baik itu televisi, suratkabar, buku, dan yang belakangan kian marak media sosial. Namun, tetap saja, pendapat menyesatkan bahwa kartun identik dengan anak-anak atau orang dewasa kekanak-kanakan tak juga luntur.
Dua kartunis dan karikaturis muda Tanah Air, Beng Rahadian dan Thomdean, satu suara kartun bukan hanya untuk konsumsi anak. Ada beberapa alasan yang mendasarinya.
Pertama, kartun adalah medium penyampai pesan. Terkadang, pesan-pesan itu ditujukan atau hanya bisa ditangkap oleh orang dewasa. Kedua, menikmati maupun menggambar kartun juga bisa menjadi sarana rekreasi tersendiri bagi orang dewasa.
Karena itulah, Beng kemudian menyoroti ‘sumber inspirasi’ agar pesan dapat tersampaikan kepada publik. Menurutnya, untuk mendapatkan ide membuat kartun tidak perlu muluk-muluk. Apalagi bagi pemula.
“Membuat kartun itu harus dari hal-hal yang dekat dengan kita. Setelah kita bisa berpikir dari hal-hal yang sederhana, barulah kita bisa memikirkan hal-hal yang lebih besar,” ujar Beng dalam diskusi daring bertajuk KELAKARtun: Kenalan dengan Kartun, Sabtu (5/9).
Ia menjelaskan, “Kita perlu mengenali dulu diri kita, lingkungan kita hidup, kebiasaan kita sehari-hari, interaksi kita dengan orang lain, dan sebagainya.”
Mitos lain yang coba diruntuhkan adalah asumsi tentang karya dengan goresan ‘buruk rupa’. Ia menekankan, gambar yang kerap dianggap ‘jelek’ itu justru gambar yang bagus.
“Kartunis itu waktu gambar kartun dia juga sering merasa gambarnya jelek. Tapi karena ini pekerjaan, waktunya dikumpulin, akhirnya dikumpulin saja. Eh, ternyata bagus kata orang,” Beng berkelakar.
Komikartunis sekaligus dosen di Institut Kesenian Jakarta tersebut mengakui, menggambar itu memang ada tekniknya. Salah satunya, pamer karya.
Ia pun menyarankan kartunis, terutama pemula, untuk percaya diri memperlihatkan gambar kepada orang lain demi apresiasi. Juga kritik dan saran. “Intinya, jelek atau bagus, itu perkara rasa saja. Itu seharusnya tidak menjadi alasan bagi kita untuk tidak belajar menggambar, terangnya.
Kekuatan Pesan
Sependapat, Thomdean menambahkan, faktor ‘bagus’ bukan yang nomor satu dalam menggambar kartun. “Yang penting dalam bikin kartun itu, kita mau ngomong apa, bukan mau gambar apa,” jelas kartunis editorial.
Dalam diskusi daring tersebut, Beng dan Thomdean menggelar games sederhana. Peserta diskusi diminta menggambar wajah mereka dalam lima goresan saja tanpa melihat cermin atau mencontek foto diri.
Keduanya menegaskan, kemampuan mentransformasikan karakter diri ke gambar yang sangat sederhana ini adalah skill yang penting dimiliki kartunis, baik pemula maupun profesional. Alhasil, gambar tidak penting bagus. Terpenting esensinya.
Latihan menggambar diri ini juga bertujuan untuk mengaktivasi otak kanan sebagai alat berimajinasi. Seringkali karena terlalu sering menggunakan otak kiri dalam aktivitas sehari-hari, ketika kita sedang menggambar pun otak kiri terlalu dominan mengambil peran.
“Dulu, kita selalu tidak punya waktu untuk melakukan hal yang kita sukai, seperti menggambar. Kini saat pandemi, orang-orang mulai mencoba-coba hobi baru. Kenapa tidak coba menggambar kartun saja?” tutur CEO Institut Humor Indonesia Kini Novrita Widiyastuti, seperti dalam keterangan pers yang diterima harnas.co, Minggu (6/9).
Novrita mencermati, kartun ternyata bisa menjadi medium semua orang, dari anak-anak hingga dewasa. “Sekalian membantu kita mengekspresikan sense of humor yang khas, yang mungkin sering sulit diungkapkan secara verbal,” tambahnya.
KELAKARtun: Kenalan dengan Kartun merupakan inisiatif yang mengawali lokakarya daring (online workshop) tentang kartun selama tiga sesi. Sesi pertama dihelat pada Sabtu (12/9). Peserta akan belajar menggambar karikatur. Disusul komik strip (26/9) dan gag cartoon pada 10 Oktober 2020.