'Guna Ulang' Wujud Kepedulian Masa Depan

Kerja sama banyak pihak dibutuhkan guna mewujudkan asa Indonesia Bebas Sampah 2025/2030. Data BPS menyebutkan, indeks ketidakpedulian masyarakat terhadap pengelolaan sampah masih tinggi.
Aturan telah dibuat. Imbauan berulang kali disuarakan. Kampanye hidup bersih, sadar lingkungan, dan sustainability tak putus diviralkan melalui berbagai platform dan cara.
Tantangannya sebanyak sampah yang menggunung di daratan, mengapung di lautan, serta mencemari tanah dan udara.
“Peta jalan pengurangan sampah telah diatur. Namun, kita tidak bisa sekadar mengikuti peraturan. Urusan sampah di republik ini menjadi tanggung jawab bersama,” ujar Ujang Solihin Sidik, Kepala Sub Direktorat Barang dan Kemasan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dalam diskusi daring, Kamis (22/9).
Sosok yang akrab disapa Uso itu pun kembali mengingatkan hal-hal mendasar terkait pengelolaan sampah, khususnya bagi produsen. “Re-desain kemasan-kemasan yang tidak bisa didaur ulang ya kita harus akhiri. Kita buat kemasan yang bisa diguna ulang,” terangnya.
Konsumen pun didorong untuk menggunakan kemasan multifungsi dan aktif melakukan pengembalian kemasan-kemasan untuk didaur ulang atau di-treatment dengan lebih baik.
Teknis x Ekonomi
Pengurusan sampah di Indonesia masih mengerucut pada sampah kemasan, terutama plastik. Sebab karakteristiknya plastik dibuat tahan lama dan fleksibel sehingga bisa dibuat kemasan tahan air.
Buah revolusi industri ini menjawab tantangan zaman yang kian serbapraktis, sekaligus memunculkan persoalan baru yang harus dipecahkan bersama. “Masalahnya, secara material tidak semua kemasan bisa didaur ulang. Misalnya kemasan multilayer seperti masker, secara teknis tidak bisa didaur ulang,” kata Uso.
Di samping prinsip-prinsip teknis, nilai ekonomis pun harus dipertimbangkan.
Ia tidak membantah, banyak barang yang secara teknis bisa diaur ulang, tapi secara ekonomi sulit masuk industri daur ulang karena value-nya rendah. Daur ulang, kata dia, masih terfokus pada kemasan tertentu seperti botol.
“Akhirnya yang lain jadi persoalan karena jadi sampah semua,” tuturnya.
Limbah Pangan
Di masa pandemi ini, pihaknya menggandeng sejumlah pihak, termasuk layanan GoFood untuk menyediakan pilihan tidak menggunakan sedotan atau sendok dan garpu plastik pada fiturnya. Mereka juga mengimbau vendor untuk meminimalisasi penggunaan kantong plastik sekali pakai.
“Sementara untuk masyarakat, selama di rumah paling aman ya masak di rumah. Selain menghemat, ini akan banyak mengurangi jumlah sampah plastik.”
Senada, Duta Lingkungan Tasya Kamila mengakui, memasak di rumah merupakan salah satu aksi nyata menerapkan gaya hidup yang lebih hijau. Persoalan sampah bukan hanya plastik. Sampah bahan pangan dan sisa makanan juga masih jadi ‘pekerjaan rumah’ banyak pihak.
“Di sini turn your kitchen trash into something else itu juga bisa dilakukan. Misalnya, bekas potongan wortel atau sisa irisan daun bawang itu bisa kita tanam lagi. Ini zaman hidropnik dan plant care is self care salah satu cara mengurangi jejak karbon di bumi,” jelasnya.
Konsumsi Bijak
Limbah yang berasal dari bahan pangan atau makanan tak kalah penting dari sampah plastik. Di Amerika Serikat, 40 persen limbah makanan berasal dari rumah tangga. Penyebabnya beragam, mulai dari makanan tidak habis atau masuk waktu kedaluwarsa. Angka ini jauh lebih besar dibanding gabungan toko grosir dan restoran.
Clementine O’Connor, program officer bidang Sustainable Food Systems di Program Lingkungan PBB (UNEP), menyesalkan hampir semua orang tidak menyadari bahwa mereka menyia-nyiakan makanan alias mubazir.
Dikatakannya melalui situs resmi Natural Resources Defense Council, 29 September 2020—bertepatan dengan peringatan International Day of Awareness of Food Loss and Waste—saat kita membuang-buang makanan sama artinya dengan membuang air, tanah, energi, dan uang yang diperlukan dalam proses produksi, pengolahan, dan transportasi.
Badan Pangan Dunia bahkan mencatat, total jejak karbon dari sampah makanan global setara dengan emisi karbon kendaraan bermotor.
Salah satu upaya memutus rantai karbon ini tentu dengan pemanfaatan sebaik-baiknya bahan pangan dan makanan. Tidak terkecuali keputusan kita dalam konsumsi.
“Mungkin kita tidak sadari pandemi membuat banyak usaha harus berhenti sementara. Contohnya, taman satwa, dengan adanya restriction (PSBB) mereka harus tutup, tapi secara internal mereka harus tetap beroperasi untuk menghidupi satwa-satwa yang ada di dalamnya,” terang Diky Risbianto, Head of Corporate and Customer Affairs, HERO Group.
Karena itulah, pihaknya bekerja sama dengan Taman Safari Indonesia dan Jakarta Aquarium. “Kami melakukan inovasi dengan mendonasikan produk-produk yang masih layak konsumsi sebagai pakan satwa.”
Edukasi ini, kata Diky, melibatkan langsung staf daan karyawan. Menurutnya, sebelum merangkul lebih banyak orang dari berbagai kalangan dan latar belakang, sikap peduli lingkungan memang harus dimulai dari lingkup terkecil di sekitar.