Eddie Van Halen & Revolusi Rock

(Dok. Globe Photos/Mediapunch/REX/Shutterstock)
EDDIE VAN HALEN. Tokoh musik dunia ini berpulang. Bertahun-tahun berjuang melawan kanker paru yang dideritanya, musisi 65 tahun itu pada akhirnya menutup mata, Selasa (6/10) waktu AS atau Rabu (7/10).
Ia didapuk sebagai legenda. Tak sekadar piawai memainkan alat musik, Eddie adalah seorang inovator yang pantang menyerah. Mengomandoi Van Halen selama lima dekade—hingga band itu tiga kali ganti vokalis—ia membuktikan diri sebagai musisi luar biasa sepanjang perjalanan sejarah rock dunia.
“Saya tidak menyangka harus menyampaikan ini, tapi ayah saya Edward Lodewijk Van Halen kalah dalam pertarungan panjangnya dengan kanker pagi ini,” Wolfgang Van Halen, anaknya.
Wolfie, demikian sang ibu Valerie Bertinelli mamanggilnya, mengenang ayahnya sebagai sosok terbaik. Setiap momen yang mereka lalui bersama, baik di atas panggung maupun dalam keseharian, adalah berkah baginya. “Saya sangat berduka,” tuturnya.
Selain keluarga, tak berlebihan bila ‘dunia’ juga merasa kehilangan. Khususnya pencinta skena musik rock global. Jika bukan karena pengaruh kuatnya, hard rock pasca-1970-an akan berkembang dengan cara yang sangat berbeda.
Van Halen memang bukan penemu gaya two-handed tapping. Namun dengan latihan keras, petikannya sempurna dan mengenalkannya kepada banyak orang. Menariknya, meski ia menguasai gitar listrik, tak pernah sekali pun ia pernah belajar membaca notasi.
“Aku tidak tahu tentang skala atau pun teori musik,” kata dia kepada Rolling Stone pada 1980.
Bukan dirinya bila harus terlibat persaingan atau membuktikan siapa yang lebih jagoan. Ia hanya ingin permainan gitarnya bisa membuat orang merasakan sesuatu, entah itu senang, sedih, atau bahkan bergairah.
“Yang aku tahu bahwa gitar rock & roll seperti blues menekankan pada melodi, kecepatan, dan rasa. Tapi yang terpenting buatku adalah ‘emosi’ yang tercipta.”
Lahir di Belanda, 26 Januari 1955, Van Halen bergabung marching band Angkatan Udara bersama kakaknya, Alex, yang satu setengah tahun lebih tua. Itulah perkenalannya dengan banyak instrumen, di samping fakta bahwa sang ayah Jan Van Halen diberkahi kemampuan bermain klarinet, saksofon, dan piano.
Sementara ibunya, Eugenie Van Beers, lahir di Rangkasbitung, Banten, Jawa, pada 1950.
Pada hari yang sama, kabar duka kembali datang. Kali ini dari genre berbeda. Johnny Nash yang melambung namanya bersama I Can See Clearly Now pada awal 1970-an, meninggal dunia pada usia 80 tahun. Musisi pop-reggae itu wafat di kediamannya, Houston, Texas.
Nash memulai kariernya sebagai penyanyi pop pada era 1950-an. Namun, single bernuansa reggae itu menempatkannya di puncak tangga lagu Billboard Hot 100 pada 4 November 1972. Lagu ini kembali meroket saat dibawakan bintang reggae Jamaika Jimmy Cliff pada 1993 untuk soundtrack film.
Menurut situs pribadinya, Nash merupakan satu dari segelintir musisi pertama non-Jamaika yang melakukan rekaman reggae di Kingston.
Reportase : Devy Lubis
Editor : Devy Lubis