Apakah Sudah yang Terbaik yang Kuberikan?

ILUSTRASI (IST)
Sepuluh Oktober setiap tahun diperingati sebagai ‘Hari Hospis dan Pelayanan Paliatif Sedunia". Tahun ini, tema yang diangkat adalah It's "My Care, My Comfort". "My Care" (pelayanan saya), lebih ditujukan kepada pelaku paliatif.
Apakah sebagai pelaku paliatif sudah memberikan pelayanan yang terbaik bagi pasien kita? Sementara, "My Comfort" (kenyamanan saya), lebih ditujukan untuk pasien-pasien. Apakah mereka dapat merasakan kenyamanan dari pelayanan yang pelaku paliatif berikan?
Bagaimana kenyataan di lapangan? Masih banyak pasien yang mengeluh nyeri, sekalipun sudah diberi obat setingkat morfin. Berdasarkan pemantauan, masih banyak pelaku paliatif yang memberikan langsung morfin intermediate. Sementara, untuk mengawali penanganan nyeri, harusnya dimulai dengan pemberian morfin immediate sampai didapat dosis yang tepat untuk menghilangkan nyerinya. Setelah didapat dosis yang tepat, dipertahankan beberapa hari, dan tidak ada renjatan nyeri, baru morfin dapat diganti dengan morfin yang intermediate.
Pelaku paliatif mungkin sudah mengetahui harusnya begitu, tapi perlu diakui bahwa tidak semua rumah sakit tersedia morfin immediate. Jadi, daripada tidak dibantu, akhirnya diberikanlah langsung morfin intermediate.
Paliatif mulai menggeliat dengan kuat saat rumah sakit-rumah sakit di Indonesia harus terakreditasi. Agar rumah sakit pemerintah maupun swasta terakreditasi, mereka harus menjalankan pelayanan paliatif. Harusnya, pada saat ada pasien yang membutuhkan pelayanan paliatif, semua rumah sakit diharapkan dapat melayaninya dengan baik.
Kenyataan yang ada, pasien kanker stadium lanjut masih banyak yang dirujuk ke rumah sakit tertier untuk tujuan pengobatan. Seandainya pasien dari luar pulau Jawa, lebih baik pasien mendapatkan pelayanan paliatif di kota asalnya. Lebih nyaman demikian buat pasien dan keluarganya dibanding harus diboyong ke ibu kota.
Pemerintah, melalui Kementerian Kesehatan, telah melakukan pelatihan paliatif bagi tenaga kesehatan di puskesmas dan rumah sakit umum daerah di hampir semua provinsi di Indonesia. Mengapa masih saja terjadi peristiwa seperti di atas? Ini masalah dukungan pimpinan rumah sakit dan tenaga kesehatan yang bekerja di rumah sakit tersebut. Mereka mau atau tidak mau melakukannya.
Ada sebuah rumah sakit yang bahkan telah mengundang pakar paliatif di Indonesia untuk mengajarkan paliatif bagi direksi berikut jajarannya. Latihan selesai, selesai pula pelayanan paliatif di rumah sakit tersebut. Dokter yang mempunyai keinginan mengembangkan paliatif dihambat dan bahkan dikucilkan. Pasien-pasien yang seharusnya mendapatkan pelayanan paliatif, tetap diobati oleh dokter penanggungjawab pasien tanpa memperhitungkan kualitas hidup pasiennya. Bukankah sebaiknya pasien dengan kanker stadium lanjut memiliki hidup yang nyaman, tidak terganggu oleh efek samping kemoterapi yang juga mungkin tidak ada gunanya lagi?
Bagaimana dengan hospis di Indonesia? Sampai saat ini hospis belum ada di Indonesia. Hospis masih sebatas wacana saja. Di tingkat kementerian, hal ini masih digodok. Kalau mau jujur, hospis, sekalipun tidak ada lagi tindakan pengobatan, tetap masih membutuhkan perawat untuk melakukan tindakan-tindakan medis, seperti pemasangan selang untuk makan, selang untuk kencing, dan lain sebagainya.
Suatu institusi yang masih menyelenggarakan tindakan medis, sudah seharusnya masuk dalam kategori fasilitas kesehatan. Undang-Undang Kesehatan kita tidak ada hospis sebagai salah satu bentuk dari fasilitas kesehatan.
Mau mengubah undang-undang tentu juga bukan suatu tindakan yang mudah dilakukan. Makanya, sekarang lagi dicoba membuat suatu terobosan yang tidak harus mengubah undang-undang, mungkin hanya melalui peraturan menteri yang dapat membuat hospis dijalankan di negara ini.
Sebagai pelaku paliatif, masih banyak pekerjaan rumah yang harus kita selesaikan. Pintu gerbang untuk pelayanan paliatif terbuka lebar di Indonesia. Mari kita manfaatkan untuk memberikan pelayanan yang lebih baik lagi bagi pasien-pasien yang membutuhkannya. Sementara itu, mari kita bertanya pada diri kita sendiri selaku pelaku paliatif, "Apakah sudah yang terbaik yang kuberikan untuk kenyamanan pasien-pasienku?"
Dr. Edi Setiawan Tehuteru, Sp.A(K), MHA, Pusat Kanker Nasional-Rumah Sakit Kanker "Dharmais"
Reportase : Dr. Edi SetiawanTehuteru, Sp.A(K), MHA
Editor : Burhanuddin