Arus Memori (2020): Kolaborasi Seni Indonesia-Prancis

Institut Prancis di Indonesia (IFI) dan Alliances Françaises Indonesia (AF) menggelar pembukaan pameran seni media dan diskusi bertajuk Novembre Numérique, Jumat (27/11). Mengusung tema ‘Arus Memori (flux de mémoire)’, rangkaian acara ini mempertemukan sejumlah seniman Indonesia dengan seniman Prancis Gaëtan Trovato. Mereka akan hadir dalam kolaborasi seni multimedia di enam kota yaitu Medan, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Denpasar, dan Jakarta.
Para seniman akan ‘mempertemukan’ gedung-gedung bersejarah dengan konteks lokal melalui penafsiran metaforis, puitis dan romantis. Sejalan dengan pameran tersebut akan diadakan diskusi jarak jauh mengenai strategi artistik warisan budaya dan multimedia dengan pembicara dari Centre des Monuments Nationaux, badan pelestarian monumen nasional dan koleksi di bawah Kementerian Kebudayaan dan Komunikasi Republik Prancis serta dari AskMona, komunitas inovasi kecerdasaan buatan (artificial intelligence) dalam pelayanan seni dan budaya.
“Novembre Numerique diadakan di pusat-pusat kebudayaan Prancis di berbagai negara dengan tujuan mempromosikan kolaborasi internasional dan eksplorasi bentuk-bentuk baru penciptaan,” ujar Atase Kerja Sama Budaya Kedubes Prancis di Jakarta Abdramane Kamate melalui keterangan pers yang diterima harnas.co, Selasa (24/11).
Ia menambahkan, “Di tiap negara seniman Prancis bekerja sama dengan seniman lokal untuk menciptakan karya dan mengurai perubahan yang terjadi di dalam masyarakat. Hal ini mencakup kesetaraan gender, demokrasi partisipatoris, transhumanisme, robotika, penyebaran pengetahuan, bahasa, dan budaya.”
Dalam kolaborasi ini terpilih enam perempuan seniman Indonesia. Mereka adalah Evi Ovtiana, Mira Rizki, Arum Dayu, Illumi, Andhika Annissa, dan Raslene. Menurut kurator pameran Ayos Purwoaji, seleksi ini merupakan upaya memberikan panggung bagi perupa perempuan di Indonesia yang jumlahnya terus bertambah. “Selain memberi spotlight, pemilihan seniman perempuan juga dilakukan untuk memberi sudut pandang lain mengenai heritage yang selama ini dianggap terlalu maskulin,” jelasnya.
Tema ‘Arus Memori, menurut Ayos, terinspirasi dari diskursus kritis heritage yang memandang memori kolektif bersifat cair dan terus bergerak mengikuti konteks zaman, sementara obyek heritage kebanyakan bersifat fisik yang dijaga dan dilindungi keasliannya.
Ayos mengatakan, “Pada suatu saat, memori kolektif masyarakat bisa saja bergeser dan benda-benda yang tadinya dianggap heritage tidak lagi mencerminkan memori kolektif masyarakat. Buktinya, kita bisa lihat belakangan ini berbagai monumen dirobohkan dan koleksi museum dari masa kolonial dikembalikan ke komunitas asalnya.”
Mengutip sejarawan Kuntowijoyo yang mengandaikan realitas sejarah sebagai sungai yang mengalir, karya-karya dalam pameran seni multimedia ini, menurut Ayos, juga mencerminkan bagaimana memori dan ingatan terus mengalir dan memberi konteks baru pada bangunan-bangunan bersejarah.
Dalam mengkurasi seniman dan karya untuk pameran ini, Ayos bertemu seniman dari enam kota yang merespon tema warisan sejarah dengan sudut pandang beragam. “Ada seniman yang merespon kata ‘warisan’ dengan pendekatan yang sangat personal, ada pula yang eksperimental. Semua karya meluaskan pemahaman kita atas istilah heritage,” urainya.
Para seniman berangkat dari kegelisahan, sebagaimana kisah fiksi mampu menggeser pandangan kita tentang identitas, bagaimana seni mendekati memori kolektif sebuah komunitas, dan bagaimana bila muncul penolakan generasi saat ini terhadap warisan masa lalu.
Melalui karya-karya seniman inilah, Ayos kemudian memilah dan memilih karya seniman Prancis, Gaëtan Trovato, untuk dicari kemungkinan pembacaan antara keduanya dalam satu ruang pamer. Misalnya, dalam sebuah ruang pamer, karya Gaëtan dan seniman lokal bisa saling menguatkan. Namun, di kota lain, bisa saja karya kedua seniman bertolak belakang dan memberikan dua perspektif yang sama sekali berlainan.
Untuk itu, Ayos menyiapkan tema kuratorial yang berbeda, bertolak dari refleksi yang ia dapatkan dari karya-karya yang dipamerkan di setiap kota.
Bandung: Sejarah yang Berlapis
Di Museum Konferensi Asia Afrika (KAA) Bandung, seniman Mira Rizki merekonstruksi sebuah kalimat dari pidato Presiden Sukarno dalam Konferensi Asia Afrika melalui potongan-potongan rekaman liputan yang dikonfigurasikan ke dalam lima buah video. Seniman Prancis Gaëtan Trovato menampilkan karya yang mempertanyakan keaslian sebuah lukisan maestro yang diwarisi keluarganya.
Bertajuk Sejarah yang Berlapis, pameran ini menyajikan bagaimana sejarah disusun atas lapisan-lapisan ingatan dan ikatan yang tumpang tindih.
Surabaya: Memori yang Cair
Di Galeri House of Sampoerna Surabaya, duo Illumi (Ryan Herdiansyah dan Putri Eiash) menampilkan karya bertajuk The Divine Enigma: Ars Moriendi. Mereka menampilkan metafora kesekaratan pada bangunan-bangunan heritage yang berada di ambang diperlukan atau dilupakan.
Pada pembukaan pameran 9 November, Illumi menampilkan video performans yang merespon karya seniman Prancis Gaëtan Trovato berjudul Spirit Pool (2018).
Denpasar: Memori, Mitologi, & Masa Depan
Seniman sekaligus arsitek dari Bali, Adhika Annissa atau Ninus, menyajikan bagaimana ingatan diwariskan antargenerasi dalam karya bertajuk Be jak Bulung: Romance du Poisson et des Algues. Karya ini merespon salah satu bagian dari koleksi permanen Ruang Karangasem di Museum Bali yang membicarakan dualisme penciptaan dan mitos kesuburan tradisional.
Karya Ninus tersebut akan berdampingan dengan video Les Images du Silence (2017) karya Gaëtan Trovato yang menyajikan gambaran atas generasi masa depan dalam proyeksi yang kabur dan fragmentatif.
Yogyakarta: Sejarah Ruang dan Komunitas
Bertempat di Bentara Budaya Yogyakarta, seniman Arum Dayu menampilkan karya yang terinspirasi dari tradisi lumbung padi atau leuit masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar. Arum Dayu menjadikan leuit sebagai metafora bagaimana sebuah komunitas menyimpan dan mewariskan sejarah, pengetahuan, nilai, trauma bahkan bencana dari satu generasi ke generasi lainnya.
Menurut Arum, “Konsep heritage bukan sekadar menjaga apa yang diwariskan tetapi juga bagaimana kita mewariskannya untuk masa depan.”
Karya Arum Dayu akan berdampingan dengan karya Gaëtan Trovato bertajuk Les Doleants (2019). Keduanya saling menyapa dalam bingkai sejarah ruang dan bagaimana teknologi membantu perekaman dari warisan tersembunyi.
Jakarta: Sejarah Lainnya
Masih sejalan dengan tema besar ‘Arus Memori / Flux de Mémoire’, seniman Raslene menampilkan karya berupa rekonstruksi kisah perempuan dalam karya sastra Indonesia yang terbit dalam kurun waktu 1940-2000. Berawal dari kegelisahannya pada nasib tokoh-tokoh perempuan dalam karya sastra, Raslene menjalin potongan kisah tadi menjadi rekaan baru dan ditambah dengan arsip rekaman video sehingga membentuk alur utuh yang menjadi personifikasi dari kehidupan jutaan perempuan lain di Jakarta.
Karya tersebut akan bersanding dengan dua karya video Gaëtan Trovato bertajuk Avant Que J’Oublie (2016) dan Trois Ormeaux (2013) di Museum Nasional Jakarta.
Medan: Antara Perjumpaan dan Penolakan
Bertempat di Museum Perkebunan Medan, seniman Evi Ovtiana mengeksplorasi tradisi menyirih di komunitas masyarakat Melayu dan Karo, Sumatera Utara, yang kini semakin ditinggalkan. Bagaimana warisan diturunkan antar generasi? Bagaimana bila terjadi penolakan? Apakah warisan dan tradisi harus secara mutlak dipertahankan?
Kegelisahannya tertuang dalam karya bertajuk Bétel (2020).