Stories Across Rising Lands: Tentang Perupa

• Maharani Mancanagara (Indonesia, 1990)
Maharani Mancanagara adalah perupa Indonesia yang tinggal dan berkarya di Bandung, Indonesia. Lulusan Fakultas Seni Rupa dan Desain di Institut Teknologi Bandung, jurusan studio seni grafis.
Ia sering berkarya dengan menggunakan medium drawing, media campuran dan instalasi. Karya-karyanya mengeksplorasi isu sejarah Indonesia dari zaman kuno hingga kontemporer, berdasarkan pengalaman pribadi dan keluarganya.
Mengambil latar belakang pribadinya, Maharani menumbuhkan minatnya dengan memvisualisasikan sejarah panjang pendidikan di Indonesia dan selama beberapa tahun ini terus mengangkat topik tentang pengasingan tahanan politik di Indonesia—bagian dari sejarah yang tersisa pada artefak-artefak milik almarhum kakeknya.
Berdasarkan perspektif di atas, Maharani kemudian bertujuan mengekspresikan barang-barang tersebut ke dalam sebuah karya seni, sebuah jalan yang diambilnya dalam mengidentifikasi dirinya yang diharapkan dapat memberikan pengakuan bagi lingkup orang yang lebih luas dengan latar belakang serupa.
Karya Maharani telah diikutsertakan dalam pameran-pameran seperti Java !, Institut des Cultures d'Islam, Paris, Prancis (2018), Letter - Callus - Post War, Kuandu Museum of Fine Arts, Taipei, Taiwan (2019) , dan Indonesia Calling, 16th Albermarle, Sydney, Australia (2020).
• Cian Dayrit (Filipina, 1989)
Praktik interdisipliner Cian Dayrit mengeksplorasi kolonialisme dan etnografi, arkeologi, sejarah, dan mitologi. Dayrit belajar melukis di University of the Philippines, dan memenangkan Ateneo Art Award pada 2017.
Pameran tunggal pertamanya, The Bla-Bla Archaeological Complex pada 2013 meneliti peran berbagai strategi tampilan dan representasi, seperti struktur arkeologi dan arsitektur, dalam memahami sejarah. Pameran tersebut mengeksplorasi masalah identitas, warisan, dan kebangsaan.
Pameran tunggal kedua dan ketiga Dayrit, Polycephalous and Spectacles of the Third World, melanjutkan penyelidikannya tentang asal-usul dan sejarah, dan representasi aspek-aspek tersebut dalam perangkat visual, dari peta, lemari keingintahuan, dan kemudian museum.
Karya Dayrit yang ditampilkan dalam Triennial 2018 New Museum: Songs for Sabotage mengeksplorasi intervensi ke kota, infrastruktur, dan jaringan kehidupan sehari-hari, menyatukan objek yang berpotensi menciptakan pengalaman bersama, atau umum.
Pada 2020, Dayrit berpartisipasi dalam Gwangju Biennale dan Berlin Biennale for Contemporary Art.
• Ho Rui An (Singapura, 1990)
Ho Rui An adalah seorang perupa dan penulis yang mengeksplorasi berbagai cabang seni kontemporer, sinema, pertunjukan, dan teori. Bekerja terutama melalui ceramah, esai dan film, ia menyelidiki hubungan yang bergeser antara gambar dan kekuasaan, dengan fokus pada cara gambar diproduksi, beredar dan menghilang dalam konteks globalisme dan pemerintahan.
Ia pernah mempresentasikan proyek di Gwangju Biennale (2018), Jakarta Biennale (2017), Sharjah Biennial (2017), Kochi- Muziris Biennale (2014), Haus de Kulturen der Welt, Berlin (2017), Museum Jorge B.Vargas dan Filipiniana Research Center, Manila (2017), NTU Center for Contemporary Art Singapore (2017), Para Site, Hong Kong (2015), dan Hessel Museum of Art dan CCS Bard Galleries, Annandale-on-Hudson (2015).
Pada tahun 2018, ia menjadi anggota akademis dari program DAAD Berliner Künstler. Ia tinggal dan bekerja di Singapura dan Berlin.
• Kawita Vatanajyankur (Thailand, 1987)
Kawita Vatanajyankur adalah seniman performans. Dengan praktik feminisnya yang fasih dan kuat, ia mengeksplorasi beban kerja fisik berat yang diharapkan dari perempuan dalam masyarakat tradisional Thailand.
Ketahanan dan kekuatan fisik Vatanajyankur menciptakan ketegangan yang dimulai dengan ketidaknyamanan fisik dan diakhiri dengan mengubah rasa sakit menjadi sesuatu yang memiliki kekuatan dan keindahan.
Karya Vatanajyankur telah dipamerkan secara luas di seluruh Australia, Asia, AS, dan Eropa. Karya Vatanajyankur pernah ditampilkan di National Collection of Thailand dan di koleksi Museum termasuk Singapore Art Museum, Dunedin Public Art Gallery (Dunedin Public Art Museum), Maiiam Contemporary Art Museum, serta menjadi koleksi universitas dan pribadi di Australia, Selandia Baru, Asia, Eropa, dan Amerika.
• Lim Kok Yoong (Malaysia, 1980)
Lim Kok Yoong adalah perupa media yang bekerja dengan media digital dan teknologi digital. Ia juga seorang dosen senior di Departemen Seni Media di Fakultas Multimedia Kreatif, Universitas Multimedia, Malaysia.
Karya-karyanya menyelidiki pikiran, lingkungan media dan proses material melalui pekerjaan berbasis teori dan praktik, menarik minatnya pada persepsi eksistensialis tentang kondisi manusia. Karya-karyanya sering menggunakan konsep 'kehadiran', sebuah tema yang menginformasikan banyak perdebatan yang berkisar pada konsep perwujudan dan pembongkaran wujud di era sibernetika.
Dalam karyanya, ia menyampaikan keprihatinan dan gagasannya tentang kesadaran ruang-waktu baru yang dibentuk oleh teknologi yang mengguncang psikologi kehadiran kita, dengan memanipulasi kondisi persepsi.
Minat penelitiannya yang lain meliputi memori digital, pengarsipan digital, pemetaan digital, estetika media, dan kurasi media. Penelitian dan praktiknya telah membuatnya membangun sejumlah besar karya untuk publikasi dan pameran.
Ia telah berpameran di Asia Tenggara, Korea, Jepang, dan Inggris. Pameran terbaru meliputi Kuala Lumpur Biennale (2017), BioCamp: Garden as Bio Technique, Laforet Museum Harajuku, Tokyo, Japan (2018) dan Changwon Sculpture Biennale, Yongji Park, Korea Selatan (2020).
• Saleh Husein (Arab Saudi, 1982)
Saleh Husein adalah seorang perupa yang tinggal di Jakarta, Indonesia. Ia belajar seni lukis di Institut Kesenian Jakarta. Dalam berkarya, Saleh Husein gemar berkutat pada penyibakan sejarah tersembunyi dengan menggunakan dokumen, benda temuan, serta gambar.
Memiliki latar belakang sebagai keturunan Arab, karya-karyanya berfokus pada aspek migrasi dan jejak perkembangan budaya Arab, khususnya di Indonesia. Ia juga dikenal sebagai gitaris grup musik White Shoes & The Couples Company dan The Adams.
Pameran tunggal pertama Husein Riwayat Saudagar diadakan pada tahun 2012 di Galeri RURU. Dia telah berpartisipasi dalam berbagai pameran internasional, termasuk 'Time of Others' di Museum of Contemporary Art, Tokyo, Jepang (2015), 10th Busan Biennale (2016), dan Europalia 'Power and Other Things' di Bozar Center for Fine Arts, Brussels (2017).
• Souliya Phoumivong (Laos, 1983)
Animator dan seniman media baru Souliya Phoumivong awalnya dilatih sebagai pelukis dan merupakan anggota dari ruang seni pertama di Laos yang dioperasikan oleh perupa. Praktiknya mengalami perubahan radikal pada tahun 2010 setelah melakukan residensi perupa di Tokyo, dan karyanya sekarang mencakup fotografi, video, dan tanah liat.
Dia mendirikan Clay House Studio pada 2012 dan kemudian diajak untuk membuat serial televisi anak-anak pertama di Laos, My Village, yang ditayangkan selama beberapa musim. Seiring berkembangnya praktiknya, studio dan set desain Phoumivong menjadi lebih canggih, tetapi dia terus mempertahankan kualitas buatan tangan dalam produksi.
Karya video dan instalasinya baru-baru ini secara imajinatif menggabungkan rekaman film, animasi stop motion, dan model yang dibuat dari tanah liat yang bersumber secara lokal. Dia juga mengajar dan membimbing perupa muda dalam film dan animasi.
Karya Phoumivong telah diikutsertakan dalam pameran seperti Cross + Scape, Pameran Seni Media Kontemporer ASEAN-Korea, Museum Seni Kumho, Seoul, Korea Selatan (2011), Missing Links, The Jim Thompson Art Center, Bangkok, Thailand (2015) dan The 9th Asia-Pacific Triennial of Contemporary Art (APT9) di Queensland Art Gallery | Galeri Seni Modern (QAGOMA), Australia (2018).
• Nge Lay (Myanmar, 1979)
Nge Lay berkarya menggunakan berbagai media termasuk instalasi, patung, seni pertunjukan dan fotografi. Karya-karyanya merupakan cerminan yang sangat personal dari pengalamannya dalam masyarakat Myanmar, terutama tentang masalah sosial- politik seputar gender, pendidikan, sejarah, dan memori.
Ia telah berpameran secara ekstensif dan dengan institusi seperti Asia Society Museum (AS), Palais de Tokyo (Prancis), Queensland Art Gallery, Gallery of Modern Art (Australia), Singapore Art Museum, Fukuoka Asian Art Museum (Jepang) dan sebagainya.
Pameran yang dikurasi baru-baru ini meliputi After Darkness: Southeast Asian Art in the Wake of History, Asia Society Museum (2017), Collectionner, le désir inachevé, Musée des Beaux- Arts, Angers, Prancis (2018), Asia Young 36, Museum Jeonbuk Art, South Korea (2016), Open Sea, Museum of Contemporary Art, Lyon, Prancis (2015), Women In-Between: Asian Women Artists 1984-2012, Fukuoka Asian Art Museum (2012).
Ia pernah berpartisipasi dalam Dhaka Art Summit (2016), 8th Asia Pacific Triennial of Contemporary Art (2015), Singapore Biennale (2013), dan menjadi finalis Sovereign Asian Art Prize 2011. Nge Lay mendirikan Proyek Seni Desa Thuye'dan bersama suaminya, Aung Ko pada tahun 2007, sebuah proyek yang berupaya melibatkan dan berbagi seni kontemporer dengan penduduk desa.
KOLABORASI
• Tan Vatey (Kamboja, 1992) & Sinta Wibowo (Belgia, 1978)
Tan Vatey adalah perupa dan desainer interdisipliner yang mengajar seni dan sering berkolaborasi dengan perupa lain dan berbagai organisasi nirlaba.
Vatey telah melakukan pameran secara luas di Kamboja, termasuk Constable Gallery at Large, Siem Reap (2016), Artists Calling oleh Cambodian Living Arts (2017) dan 'Kraanh Norneal' (2017) di Sa Sa Art Projects, Phnom Penh, 'Snapshot' ( 2018) di Sangker Gallery, Battambang, 'Facing the Climate', pameran tur Kedutaan Besar Swedia (2018).
Baru-baru ini karya seninya mulai membawanya ke luar negeri. Vatey terpilih untuk berpartisipasi dalam 'Mutual Unknown', sebuah proyek pertukaran penelitian oleh Goethe Institute, yang diprakarsai oleh CuratorsLAB, sebuah jaringan kurator Asia Tenggara.
Puncak proyek ini adalah pameran bersama di Galeri Nasional Indonesia di Jakarta (2017). Bersama dengan penggiat seni Indonesia- Belgia Sinta Wibowo, Vatey melakukan eksperimen langsung melalui pameran animasi [re-enacting memories] (2017-sedang berlangsung), untuk Europalia Art Festival, Brussel, dan Rainbow Community Kampuchea, Phnom Penh, juga sebagai lokakarya [watch & wa / onder] (2018-sedang berlangsung) di Semarang, Indonesia, dan Shaxi, Cina.
Ia pernah mengikuti residensi perupa di Sa Sa Bassac (2016), Newfoundland di Belgia, (2017), dan Vermont Studio Center di AS (2018), dan menjadi pembicara tamu di Asia Society dan Dewan Seni Asia di NYC.
Sinta Wibowo tinggal dan bekerja di Brussel dan Phnom Penh, setelah migrasi orang tuanya dari Indonesia ke Belgia pada tahun 1970-an.
Ia terlibat dalam berbagai kegiatan seni dan budaya, sering berkolaborasi dengan para seniman, kurator, dan institusi sejak akhir 1990-an.
Ketertarikannya dalam menjelajahi berbagai persimpangan dalam seni dan budaya telah membawanya untuk menyelenggarakan Sideways Walking Arts Festivals, di mana 50 perupa menjelajahi jalur yang berbeda selama 30 hari dalam ekspedisi berjalan sepanjang 360 kilometer yang dibuka sebagai laboratorium artistik yang dibuka untuk semua orang yang lewat.
Ia bertemu Tan Vatey pada 2017, awal dari serangkaian pameran langsung dan lokakarya. Duo ini telah bereksperimen dengan seni dan relasionalitas di dunia.