Regenerasi & Kolaborasi Cermin Budaya 2020

Jelang akhir tahun industri fesyen ditengarai kian membaik, seiring digelarnya beberapa fashion show baik secara virtual maupun offline dengan tetap mematuhi protokol kesehatan. Sejauh ini, busana ready-to-wear pun tetap jadi primadona, hingga memasuki masa adaptasi kebiasaan baru pascapandemi.
Cerita dibalik proses pembuatannya tentu jadi nilai tambah. Demikian pula, relasinya dengan kondisi lingkungan—khususnya soal minimalisasi limbah fesyen. Pemilihan bahan yang berkualitas namun tetap nyaman untuk digunakan juga memiliki daya tarik yang lebih.
Meski begitu, bukan mudah mempertahankan bisnis fesyen di masa ‘krisis’ seperti. Sekarang. Improvisasi dan pengembangan terhadap desain yang sudah ada tanpa menghilangkan karakter dan ikon ikon yang sudah menjadi dasar, jadi modal utama.
Strategi serupa mengilhami Pricilla Margie untuk tetap berkarya. Mengusung lini busana Santoon—rebranding dari Egie and Mom—sang desainer memanfaatkan serat alam kapas, serat alam eucalyptus, dan rayon sebagai bahan utama. Sebelum digunakan, bahan alam tersebut telah melalui proses uji Laboratorium Balai Besar Tekstil di Bandung, Jawa Barat, tahun ini.
Mereka juga mengandalkan pewarna alam yang menjadi kekhasan tersendiri. Gabungan berbagai warna ini kemudian menjadi dasar pada desain produk.
“Hal yang diandalkan dalam desain produk ini adalah bahan yang berkualitas, ramah lingkungan, nyaman digunakan, dan dapat menyesuaikan trend kapan dan di mana pun,” demikian pernyataan dalam editorial Santoon, yang diterima harnas.co.
Desain mereka pun tidak lepas dari nuansa Islami. Simbolisasi perempuan Indonesia yang santun dalam berpakaian.
Pada Festival Payung digelar di Candi Prambanan, 5 Desember 2020, Santoon menggelar karya bertajuk Budaya Millenial. Konsep yang diangkat adalah budaya Betawi, dengan kombinasi budaya kekinian. Desain yang ditampilkan bergaya modern, tapi unsur budaya Betawi tetap melekat.
Duet Nisrina Prisan Keyko (fashion desainer) dan Marssa Prisan Alicia (penyanyi) menjadi ciri khas showcase tersebut. Keduanya mewakili sentuhan pemikiran dari anak muda—bukan sekadar dalam desain dan proses produksi produk, melainkan juga proses menyelaraskan konsep koleksi dengan warna musik yang dipentaskan.
Style yang digunakan pada Festival Payung berupa arty off beat, feminine style, dan exotic dramatic yang dikombinasi dengan gaya milenial, dengan tetap menggunakan unsur warna dan motif khas Betawi.
Desain ini tidak lepas dari ciri khas label busana, yang menggunakan outer-outer kualitas terbaik pada tiap koleksi desainnya. Mereka selalu memunculkan ikon ikon khusus sehingga para pengguna dapat merasakan langsung kenyamanannya.
Warna yang diangkat pada Festival Payung tahun ini mengandalkan kombinasi warna cerah, dan warna dari pewarnaan alam yang memberi nuansa dari cerita cerita rakyat Betawi pada umumnya. Motif yang digunakan berasal dari ikon budaya Betawi yang sangat kental seperti Ondel Ondel. Juga alat musik tanjidor yang dipecah dan diolah menjadi motif baru.
Aksesori yang digunakan juga menambah kesan ‘baru’ pada desain yang ditampilkan. Sementara unsur musik yang disajikan pada Festival Payung ini khusus dibuat sesuai unsur motif yang bersinergi.
“Harapan saya untuk Festival Payung 2021 adalah terus diperkaya oleh desainer-desainer yang kreatif dengan mengemas desain budaya yang beraneka ragam, dengan mengikuti perkembangan zaman anak sekarang tanpa melupakan kode etik budaya tradisional,” tutur Pricilla Margie, dalam pernyataan.