Ini Dampak COVID-19 Terhadap UMKM

UNDP Indonesia menyatakan, usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) paling terdampak terhadap pandemi COVID-19. Bahkan sembilan dari 10 UMKM mengalami penurunan pendapatan.
Perwakilan UNDP Indonesia Sophie Kemkhadze mengatakan, perempuan pengusaha juga mengalami penurunan, baik omzet hingga keuntungan. “Bahkan lebih dari 30 persen UMKM mengalami penurunan pendapatan sekitar 60 persen,” ujar Sophie saat webinar di Jakarta, Kamis (21/1).
Menurut dia, studi ini untuk memberikan antisipasi terhadap pandemi COVID-19. Pemerintah juga harus bertindak cepat mengatasi kendala tersebut, apalagi UMKM menyumbang kontribusi besar dalam produk domestik bruto (PDB).
“Kami dukung kemitraan dengan pemerintah untuk meredam dampak pandemi ini. Intervensi yang dilakukan pemerintah sesuai dengan peran kami,” ujar Sophie.
Country Economist UNDP Indonesia Rima Prama Artha mengatakan, survei ini melibatkan 1.100 UMKM di 15 provinsi pada Agustus 2020. Sebarannya, 60 persen UMKM di Jawa, sisanya di luar Jawa.
Menurut dia, sekitar 47 persen UMKM kesulitan mendapatkan bahan baku produksi. Sekitar 75 persen mengalami kenaikan harga bahan baku sehingga sulit berproduksi.
Dari sisi permintaan mengalami penurunan 87,6 persen, 72 persen sulit menentukan harga, dan 81 persen kesulitan mendistribusikan barang.
“Uniknya, adaptasi dari offlline ke online naik dari 28 persen ke 44 persen. Transisi ini memang belum setinggi yang kita harapkan karena ada kendala dalam menuju perdagangan daring (e-commerce),” kata Rima.
Menurut Rima, pandemi COVID-19 juga berdampak pada keuangan UMKM. Seperti 22 persen UMKM sulit untuk membayar utang, 21 persen sulit membayar biaya operasional, dan 21 persen susah untuk menggaji karyawannya.
Dalam jangka menengah, sekitar 25 persen UMKM akan memodififikasi usahanya agar mudah menjual produk. Misal menjual beberapa kebutuhan yang dibutuhkan selama pandemi, seperti masker dan hand sanitizer.
Selain itu, 42 persen UMKM mengurangi biaya utilitas seperti air, listrik, gas, dan telekomunikasi. Sekitar 30 persen akan mengurangi gaji buruh dan 38 persen UMKM akan berpindah ke platform digital.
“Meski sulit, pemilik UMKM tidak berniat menutup usaha, hanya sedikit yang ingin menutup usahanya,” kata Rima.
Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Digital, Ketenagakerjaan, dan UMKM Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian RI Rudi Salahuddin mengatakan, pemerintah terhambat dalam pendataan UMKM di seluruh Indonesia. Hingga kini, data 64 juta pelaku UMKM bukan data resmi, tapi hanya dari survei.
“Dengan ketiadaan data resmi, kami sulit untuk memberikan bantuan,” ujar Rudy.
Apalagi data tersebut juga mengacu data UMKM yang formal. Padahal dalam survei itu, sekitar 52 persen pelaku UMKM masih berstatus informal. “Ini menjadi tantangan. Data harus kita perbaiki karena nanti pembinaannya berbeda,” kata Rudy.
Selain itu, pemerintah juga mendorong digitalisasi UMKM dengan masuk e-commerce. Nantinya, pelatihan juga akan diberikan, bukan hanya agar mereka menguasai platform digital tetapi juga pemasarannya.
“Tugas kita bukan hanya meng-online-kan tapi pembinaan termasuk pemasaran. Ini pekerjaan rumah bersama dengan pelaku usaha,” ujar Rudy.
Kepala Pusat Kajian Iklim Usaha dan Rantai Nilai Global LPEM FEB Universitas Indonesia Mohamad D Revindo mengatakan, pemerintah tidak hanya bisa mendorong UMKM untuk masuk platform digital.
Bukan hanya marketplace, tapi Revindo mendorong pemerintah dan pelaku UMKM agar memanfaatkan teknologi informasi yang sedang berkembang. Misal dengan pesan instan WhatsApp. “Itu lebih realistis daripada langsung ke e-commerce. Nanti bisa pelan-pelan diajari punya website sendiri. Jadi tidak semua UMKM dipaksa masuk e-commerce,” kata Revindo.