Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia
Refleksi Pengakuan Hak Masyarakat Adat dalam Pembangunan

Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia (HIMAS) yang diperingati setiap tanggal 9 Agustus harus menjadi momentum untuk mengingatkan kembali pentingnya perlindungan untuk masyarakat adat bagi kelangsungan keanekaragaman alam kita.
Praktik-praktik pembangunan ekonomi berbasis lahan dan hutan serta pembangunan infrastruktur yang kurang memperhatikan keseimbangan ekosistem menjadi ancaman serius bagi eksistensi masyarakat adat.
Emil Kleden, Ketua Dewan Pembina Yayasan Pusaka Bentala Rakyat & Direktur Eksekutif Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (YMKL) mengatakan, negara memiliki peran penting dalam menjamin perlindungan menyeluruh bagi masyarakat adat, tidak hanya berdasarkan status politiknya saja, melainkan terutama dalam konteks realitas sosio-legal mereka.
“Keluhan kelompok-kelompok yang menyebut diri mereka sebagai masyarakat adat atau yang oleh negara disebut sebagai masyarakat hukum adat ini pada dasarnya sama, yakni diskriminasi, hutan dan tanah mereka hilang, dan isu-isu keadilan dalam pembangunan lainnya,” kata Emil.
Negara, lanjut Emil, memiliki kewajiban yang diatur Pasal 18B Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 untuk mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya.
“Hutan, tanah dan alam sekitar adalah basis material bagi masyarakat hukum adat untuk melangsungkan kehidupan ekonomi, spiritual dan kulturalnya. Jika akses pada alam ditutup akibat hak pengelolaannya diberikan kepada pihak ketiga, maka eksistensi masyarakat adat terancam akan hilang. Untuk itu peran negara di sini sangat penting,” kata pria yang juga menjabat sebagai Direktur Eksekutif Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (YMKL).
Perjalanan untuk memperjuangkan hak masyarakat memiliki banyak tantangan dan harus melewati proses yang panjang.
Riche Rahma Dewita, Koordinator Program Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) WARSI menyebut para pemangku kepentingan perlu menyamakan definisi perihal hak masyarakat adat terlebih dahulu sebelum menyusun kebijakan terkait.
Pertama, memahami kearifan masyarakat lokal dan nilai-nilai adat yang berlaku. Kedua, memahami interaksi yang terjadi di dalam masyarakat lokal tersebut. Ketiga, membangun gagasan bersama untuk membuat sebuah model pengelolaan hutan serta manfaatnya bagi semua pihak. Dan terakhir, mendiskusikan gagasan tersebut secara terintegrasi di antara pusat dan daerah.
“Pada prinsipnya, kami berupaya mendorong pemerintah untuk mendukung kearifan masyarakat yang sudah berkembang dalam mengelola sumber daya mereka. Pada prinsipnya pengelolaan sumber daya dilakukan masyarakat akan memberi dampak positif secara ekologi, ekonomi dan sosial dan ini sekaligus perbaikan tata kelola sumber daya alam secara keseluruhan,” kata Riche.
KKI WARSI yang telah terlibat dalam pendampingan masyarakat di sekitar hutan sejak tahun 1991 menilai bahwa praktik hidup masyarakat adat sangat penting untuk menyelamatkan hutan dan keanekaragaman hayati.
Pandemi dan Legalitas Masyarakat Adat
Pemberdayaan masyarakat adat dampingan KKI-WARSI tersebut tidak terlepas dari status legal yang dimilikinya. Riche mengatakan sebanyak 142 kelompok masyarakat adat yang berada di wilayah dampingannya di Sumatra Barat, Jambi, Bengkulu, Riau, Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara, telah mendapatkan legalitas dari pemerintah dan sebagian lainnya masih terus diperjuangkan untuk mendapatkan pengakuan hukum dari pemerintah.
“Pengakuan yang diberikan pemerintah secara hukum kepada masyarakat membuat mereka memiliki kepastian untuk mengakses pengelolaan hutan serta menjalankan nilai dan pengetahuan yang bersinergi dengan hutan,” kata Riche.
Di bagian Komunitas Adat Marginal, Warsi berhasil mendorong pemerintah untuk pengakuan Suku Orang Rimba masuk dalam sistem administrasi kependudukan pada tahun 2020 sampai 2021. Dengan adanya pengakuan dan pencatatan identitas ini, Suku Orang Rimba bisa mengakses bantuan pemerintah untuk mengatsi kedaruratan pangan akibat pandemi covid.
Pertama dalam sejarah Orang Rimba hampir merata mendapatkan Bantuan Sosial Tunai (BST) senilai Rp300 ribu per orang per bulannya selama masa pandemi. Dan dilanjutkan dengan bantuan pangan nontunai.
Dampak keterpurukan ekonomi selama pandemi tidak hanya dirasakan masyarakat urban saja. Sebagian Orang Rimba, sebutan kelompok adat yang hidup secara nomaden atau berpindahpindah, di wilayah dampingan KKI Warsi juga ada yang harus merasakan pahitnya pandemi karena kehilangan mata pendapatan mereka.
“Salah satu masyarakat yang rentan terpapar pandemi adalah Orang Rimba yang tinggal di area perkebunan, sekitar transmigrasi dan kawasan HTI (hutan industri). Kehidupan mereka bergantung pada penjualan hasil berondolan sawit dan berburu babi untuk dijual ke pengepul,” kata Riche.
Sejak pandemi sesuai adat Orang Rimba melalukan sesandingon atau sosial distancing. Otomatis dengan pola ini Orang Rimba tidak memiliki penghasilan sementara hutan yang kaya sumber pangan mereka sudah berganti dengan tanaman sawit ataupun akasia. Kondisi ini yang memicu kedaruratan pangan.
“Jadi bantuan sosial yang diberikan pemerintah sangat berarti,” kata Riche.
Meski demikian, bagi Orang Rimba yang berada di kawasan hutan sejatinya tidak terlalu terpengaruh karena hutan menyediakan pangan. Persoalannya hari ini hutan yang makin sempit sehingga populasi Orang Rimba yang tinggal di dalam hutan juga sudah kecil.
Hutan sebagai sumber pangan dan benteng ketahanan pangan juga dirasakan oleh masyarakat sekitar hutan. Seperti masyarakat Rantau Kermas dan Lubuk Mentilin di Jambi, pandemi justru memberikan mereka kesempatan yang lebih luas untuk melakukan kegiatan menjaga hutan tanpa gangguan.
“Masyarakat yang tinggal di kawasan hutan, seperti Orang Rimba dan masyarakat desa di sekitar kawasan hulu, seperti Rantau Kermas dan Lubuk Mentilin terbukti bisa menjalani kehidupan mereka secara normal selama pandemi. Mereka justru dapat melakukan kegiatan menjaga hutan tanpa gangguan,” tambah Riche.